1. Hasud

Salah satu penyakit hati yang sangat besar adalah hasud. Hasud ( dengki ) adalah sikap batin tidak senang terhadap kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Imam Ghazali mengatakan bahwa hasud itu adalah cabang dari syukh ( الشخ) yaitu sikap batin yang bakhil berbuat baik.
Kata hasud berasal dari bahasa Arab, yaitu “hasadun” yang berarti dengki, benci. Dengki merupakan suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan rasa marah, tidak suka karena iri. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata “hasud” diartikan membangkitkan hati seseorang supaya marah (melawan, memberontak, dan sebagainya). Dengan demikian yang dimaksud dengan hasud pada hakikatnya sama dengan hasad, yakni suatu perbuatan tercela sebagai akibat adanya rasa iri hati dalam hati seseorang. Rasululloh s.a.w. bersabda :
ﺩَﺏﱠﺇِﻟَﻴْﻜُﻢْﺩَﺍۤﺀُﭐْﻷُﻣَﻢِﻗَﺒْﻠَﻜُﻢْﺑَﻐْﻀَﺎﺀُﻭَﺣَﺴَﺪٌﻫِﻲَﺣَﺎﻟِﻘَﺔُﭐﻟﺪﱢﻳْﻦِﻻَﺣَﺎﻟِﻘَﺔُﭐﻟﺸﱠﻌْﺮِ
( ﺭَﻭَﺍﻩُﺃَﺣْﻤَﺪُﻭَﭐﻟﺘﱢﺮْﻣِﺬِﻱﱡ )
Artinya : “Telah masuk ke dalam tubuhmu penyakit-penyakit umat terdahulu (yaitu) benci dan dengki, itulah yang membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut”. (H.R. Ahmad dan Tirmidzi)
Lebih jauh para ulama mengemukakan pengertian hasud atau hasad sebagai berikut :
1. Menurut Al Jurjani Al Hanafi dalam kitabnya “Al Ta’rifaat”, hasad ialah menginginkan atau mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah kepadanya (orang yang mendengki).
2. Menurut Imam Al Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumuddin”, hasad ialah membenci nikmat Allah S.W.T. yang ada pada diri orang lain, serta menyukai hilangnya nikmat tersebut.
3. Menurut Sayyid Qutub dalam tafsir “Al Manar”, hasad ialah kerja emosional yang berhubungan dengan keinginan agar nimat yang diberikan Allah S.W.T. kepada seseorang dari hamba-Nya hilang dari padanya. Baik cara yang dipergunakan oleh orang yang dengki itu dengan tindakan supaya nikmat itu lenyap dari padanya atas dasar iri hati, ataau cukup dengan keinginan saja. Yang jelas motif dari tindakan itu adalah kejahatan.

Hal inilah, seperti yang dijelaskan Al Qur’an sebagai berikut :
( ۵4 : ﭐﻟﻨﱢﺴَﺎۤءُ ) ….. ﺃَﻡْﻳَﺤْﺴُﺪُﻭْﻥَﭐﻟﻨﱠﺎﺱَﻋَﻠَﻰﻣَﺎۤﺍٰﺗٰﻬُﻢُﭐﷲُﻣِﻦْﻓَﻀْﻠِﻪِ
Artinya : “ Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya …. (Q.S. An Nisa : 54)
Jadi hasud/hasad menurut istilah membenci nikmat Allah SWT yang dianugerahkan kepada orang lain, dengan keinginan agar nikmat yang didapat orang tersebut segera hilang atau terhapus.
Rasulullah saw menggambarkan betapa tercelanya kedengkian itu dengan sabdanya:
ﺇِﻳﱠﺎﻛُﻢْﻭَﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻓَﺈِﻥﱠﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻳَﺄْﻛُﻞُﭐْﻟﺤَﺴَﻨَﺎﺕِﻛَﻤَﺎﺗَﺄْﻛُﻞُﭐﻟﻨﱠﺎﺭُﭐﻟْﺤَﻄَﺐَ
( ﺭَﻭَﺍﻩُﺃَﺑُﻮْﺩَﺍﻭُﺩَﻋَﻦْﺃَﺑِﻲْﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَﺭﺽ )
”Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR.Abu Daud dari Abu Hurairah). Ketika seseorang mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki maka saat itu ia telah berlaku hasad, karena sesungguhnya kedengkian adalah membenci nikmat dan menginginkan lenyapnya nikmat itu dari orang yang mendapatkannya.
Pantaslah jika Rasulullah saw pernah menyebut seseorang sebagai penghuni surga akan lewat di depan sahabat-sahabatnya, yang ketika kejadian itu berulang tiga kali dalam tiga hari Rasulullah menyebutnya sebagai seorang dari penghuni surga, dan ketika ditelusuri oleh Abdullah bin Amer bin al-Ash dengan bermalam di rumah orang tersebut selama tiga malam, ia tidak pernah melihat amalan orang tersebut yang berlebihan, bahkan orang itu juga tidak bangun malam, kecuali jika berbalik dari tempat tidurnya ia menyebut Allah, ia tidak bangun kecuali untuk shalat subuh, dan tidak pernah mendengarnya berkata kecuali kebaikan.
Bahkan hampir saja Abdullah meremehkan amalannya. Ketika Abdullah mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda begini dan begitu, kemudian ia bertanya : ”Apakah gerangan yang membuatmu mencapai tingkatan tersebut?"
Orang tersebut menjawab: ”Tidak ada apa-apa kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan dengki kepada salah seorang pun dari kaum muslimin yang dikaruniai Allah kebaikan”.
Di sinilah Abdullah menemukan jawaban itu, ia berkata :”Itulah rupanya yang membuatmu mencapai tingkatan itu, dan itulah yang tidak mampu kami lakukan”.
Demikianlah nikmatnya jika kita dapat menghidarkan diri dari berlaku hasad pada orang lain yakni surga, yang sesungguhnya terlihat sangatlah sepele persoalannya meskipun sesungguhnya berat dalam pengamalannya.
Cukuplah menjadi renungan kita bersama bahwasanya penyebab pembunuhan pertama kali di muka bumi ini terjadi yaitu anak Adam membunuh saudaranya adalah disebabkan oleh kedengkiannya pada saudaranya atas nikmat yang dimilikinya lalu kita bertanya masihkah kita harus mendengki?
Rasulullah bersabda:
ولا تحاسدوا ولاتقاطعوا ولاتباغضوا ولاتدابروا وكونوا عبادالله إخوانا كما أمركم الله ( رواه ﭐﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱﱡ ومسلم )
Artinya : “Janganlah kamu sekalian saling mendengki, membenci, dan saling belakang-membelakangi; tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepadamu”. ( H.R Bukhari dan Muslim )
Setiap muslim/muslimah wajib hukumnya menjauhi sifat hasud karena hasud termasuk sifat tercela dan merupakan perbuatan dosa. Simaklah QS. An Nisa’ [4]: 32


Artinya : ““Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Dalam kitab Tanbihul Ghafilin yang dinyatakan Imam Abu Laits Samarqandi, dijelaskan bahwa orang hasud itu telah menentang Allah SWT dalam beberapa hal, :
1. Membenci nikmat atau anugerah Allah SWT yang diberikan kepada orang lain.
2. Tidak rela menerima pembagian karunia Allah SWT atas dirinya.
3. Pelit terhadap pemberian Allah SWT, kalau bisa semua anugerah Allah dan kebajikan jatuh pada dirinya sendiri, tak perlu orang lain. Kalaupun orang lain memperolehnya diharapkan di bawah derajat dirinya.
4. Mengikuti pengaruh Ibnlis/syetan yang sebetulnya sangat merugikan dan menghinakan dirinya sendiri
Bahaya-bahaya sifat hasud antara lain sebagai berikut :
1) Merusak iman orang yang hasud.
الحسد ﻳُﻔْﺴِﺪُ الايمان كما يفسد الصبر العسل ( رواه ﭐﻟﺪﱠﻳْﻠَﻤِﻲﱡ )
Artinya : “Hasud itu dapat merusak iman sebagaimana jadam merusak madu” (H.R Ad Dailami)
2) Menghanguskan segala macam kebaikan yang pernah dilakukan.
ﺇِﻳﱠﺎﻛُﻢْﻭَﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻓَﺈِﻥﱠﭐﻟْﺤَﺴَﺪَﻳَﺄْﻛُﻞُﭐْﻟﺤَﺴَﻨَﺎﺕِﻛَﻤَﺎﺗَﺄْﻛُﻞُﭐﻟﻨﱠﺎﺭُﭐﻟْﺤَﻄَﺐَ
( رواه ابو داود )
Artinya : “Jauhilah darimu dari hasud karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”. ( H.R Abu Dawud )
3) Tersiksa batinnya untuk selama-lamanya, sebab di dunia ini tidak sepi dari orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah baik berupa ilmu, pangkat, atau harta benda sementara dia selalu diliputi rasa dengki terus menerus.
Ada 2 macam hasud yang dibolehkn, Rasulullah bersabda
لاحسد إلا فى اثنين: رجل أتاه الله مالا فسلطه على هلكته فى الحق ورجل أتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلمها ( رواه ﭐﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱﱡ )
Artinya : “Tidak boleh iri hati kecuali dalam 2 hal : 1. Seorang yang diberi oleh Allah SWT harta kekayaan maka dipergunakan untuk mempertahankan hak ( kebenaran ) dan 2. Seorang yang diberi Allah SWT ilmu hikmah, maka ia pergunakan dan ia ajarkan”. ( H.R Bukhari )
4) Mengarah pada perbuatan maksiat, dengan berlaku hasud otomatis seseorang pasti melakukan hal-hal lain seperti ghibah (mengumpat/menggosip orang), berdusta, mencela, bahkan mengadu domba.
5) Jauh dari rahmat Allah SWT dan sesama manusia
6) Menghancurkan persatuan dan kesatuan
7) Menyakiti orang lain atau dapat mencelakakan orang lain
8) Terkena hinaan dan kegelisahan apalagi ia menyadari bahwa orang lain telah memahami hasutannya, maka ia akan dipandang rendah dan pasti dijauhi.
9) Kerisauan dan kegelisahan akibat kebencian tak terputus-putus
10) Akan selalu menderita di atas kesenangan orang lain. Ia tidak pernah merasa bahagia selama ada orang lain yang melebihinya
11) Dapat memutuskan hubungan silaturrahim dan persaudaraan
12) Berpotensi akan menjadi provokator yang dapat menimbulkan bencana atau kerugian, baik untuk dirinya ataupun orang lain
13) Menjerumuskan pelakunya masuk neraka.
Cara menghindari sifat hasud :
a) Selalu meningkatkan iman kepada Allah SWT
b) Berupaya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT
c) Mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya
d) Meningkatkan sifat Qana’ah (menerima dengan ridlo setiap anugerah Allah SWT)
e) Menyadari kedudukan harta dan jabatan dalam kehidupan manusia di dunia.
Kebiasaan-kebiasaan yang harus dilatih agar terhindar dari sifat hasud
a. Membiasakan diri menghormati pendapat orang lain agar terhibdar dari konflik
b. Membiasakan diri melakukan perbuatan baik, karena Allah bersama orang yang berbuat baik (Q.S. 16 :128)
c. Membiasakan diri senang dan bersyukur serta memberikan selamat atas keberhasilan/kebahagiaan orang lain
d. Membiasakan diri memelihara hubungan baik/silaturrahim
e. Membiasakan diri mempelajari, memahami dan memperaktikkan ayat-ayat Allah
f. Kemitmen untuk selalu meningkatkan ke-Islaman terutama salat lima waktu
g. Membiasakan diri mensyukuri nikmat/pemberian Allah sekecil apapun
2. Riya’
Menurut bahasa artinya pamer, memperlihatkan, memamerkan, atau ingin memperlihatkan yang bukan sebenarnya, sedang menurut istilah yaitu memperlihatkan suatu ibadah dan amal shalih kepada orang lain, bukan karena Allah tetapi karena sesuatu selain Allah, dengan harapan agar mendapat pujian atau penghargaan dari orang lain. Sedang memperdengarkan ucapan tentang ibadah dan amal salehnya kepada orang lain disebut sum’ah (ingin didengar).
Riya’ dan sum’ah merupakan perbuatan tercela dan merupakan syirik kecil yang hukumnya haram. Riya’ sebagai salah satu sifat orang munafik yang seharusnya dijauhi oleh orang mukmin. Simak QS. An Nisa’ [4] 142!


Artinya : “Sesungguhnya orang-rang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ ( dengan shalat itu ) dihadapan manusia, dan tidaklah mereka dzkiri kepada Allah kecuali sedikit sekali.”
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ”Di hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku, aku ini telah mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke neraka?’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai pemberani.
Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah sebagai balasan dari perjuanganmu’.” Orang yang berjuang atau beribadah demi sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas, sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa debu di atas bebatuan.

Allah SWT berfirman QS. Al-Furqan [25] : 23


Artinya : ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar Rasulullah bersabda, ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur semalaman.”
Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah, ”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi, ”Bagaimana menipu Allah itu?” Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu melakukan suatu amal yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki amal itu untuk selain Allah.”
Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah, ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya, tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala aktivitasnya di hadapan manusia.
Secara tegas Rasulullah pernah bersabda, ”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang memiliki sifat riya, ‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka’
Amal perbuatan yang diridlai Allah
a. Niat karena Allah
b. Ikhlas
c. Sesuai dengan kemampuan
d. Tidak pilih kasih
e. Rahmat bagi seluruh alam

Amal perbuatan ria
a. Niat bukan karena Allah
b. Tidak ikhlas
c. Mengada-ada
d. Pilih kasih
e. Ingin dipuji
f. Mengharap imbalan
Dilihat dari bentuknya, ria dapat digolongkan 2 macam, yaitu :
a. Ria dalam niat
Ria yang berkaitan dengan hati, maksud ria dalam niat, yaitu sejak awal perbuatan bahkan yang dilakukannya tidak didasari ikhlas sebelumnya sudah didasari ria. Yang mengetahui hanya Allah SWT dan dirinya saja. Apabila seseorang ingin melakukan amal perbuatan baik atau tidak tergantung pada niat. Rasulullah s.aw. bersabda :
ﺳَﻤِﻌْﺖُﻋُﻤَﺮَﭐﺑْﻦَﭐﻟْﺨَﻄﱠﺎﺏﻗَﺎﻝَﻋَﻠَﻰﭐﻟْﻤِﻨْﺒَﺮﺳَﻤِﻌْﺖُﺭَﺳُﻮْﻝَﺹﻉﻳَﻘُﻮْﻝُِِﺇِﻧﱠﻤَﺎﺍْﻻَﻋْﻤَﺎﻝُﺑِﺎﻟﻨﱢﻴﱠﺎﺕِﻭَﺇِﻧﱠﻤَﺎﻟِﻜُﻞﱢﺍﻣْﺮِﺉٍﻣَﺎﻧَﻮَﻯ
( متفق عليه )
Artinya : “aku mendengar Umar bin al Khaththab berkata di atas mimbar, ‘aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang memperoleh sesuai apa yang ia niatkan …” (H.R. Bukhari Muslim)
b. Ria dalam perbuatan
Yaitu memamerkan atau menunjukkan perbuatan di depan orang banyak, agar perbuatan tersebut dipuji, diperhatikan, dan disanjung orang lain.
Di antara contoh riya dalam perbuatan, bila seorang pelajar terlihat belajar dengan sungguh-sungguh hanya karena ingin mendapat nilai yang bagus. Dan dia melakukan hal itu kepada orang tuanya hanya karena ingin mendapatkan apa yang dia minta dari orang tuanya cepat-cepat terkabul.
Beberapa penjelasan Allah SWT dalam Al Qur’an sehubungan dengan riya’ dalam perbuatan antara lain :
a) Melakukan ibadah shalat tidak untuk mencapai keridlaan Allah SWT, tetapi mengaharapkan pujian, popularitas di masyarakat. (Q.S. Al Ma’un (107) : 4-6), dan Q.S. An Nisa (4) : 142.
Artinya : “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya”. (Q.S. Al Ma’un: 4-6)
b) Bersedekah didasari riya laksana riya’ batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih. (Q.S. Al Baqarah (2) : 264)
c) Allah melarang pergi berperang didasari riya’ dan menghalangi (orang) lain menempuh jalan Allah (sabilillah). (Q.S. Al Anfaal (8) : 47)
Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat ria dalam perbuatan
a. Tidak akan berbuat baik jika tidak dilihat orang lain atau tidak ada imbalan baginya
b. Melakukan amal saleh tanpa dasar, hanya ikut-ikutan (Q.S. 17 : 36)
c. Tampak rajin penuh semangat jika amal perbuatannya dilihat atau dipuji-puji orang.
d. Ucapannya selalu menunjukkan bahwa dia yang paling hebat, paling tinggi dan paling mampu.
Bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari sikap riya
a. Bahaya riya yang merugikan diri sendiri
1) Selalu tidak ada puasnya, sekalipun hidupnya sudah berkecukupan sehingga berpotensi untuk korupsi dan mengambil hak orang lain
2) Selalu ingin dipuji dan dihormati
3) Ketidakpuasan, sakit hati, dan penyesalan ketika orang lain tidak menghargainya.
4) Sombong dan membanggakan diri
5) Tidak dapat bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah maupun berinteraksi dengan sesama manusia.
6) Menyesal jika telah melakukan perbuatan baik hanya karena tidak ada orang lain yang melihatnya atau tidak ada imbalannya
7) Jiwanya akan terganggu karena kegelisahan/keluh kesah yang tiada henti
8) Perbuatan ria termasuk syirik kecil
وَعَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ اَلْأَصْغَرُ اَلرِّيَاءُ )  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ حَسَنٍ
Artinya : Dari Mahmud Ibnu Labid r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takuti menimpamu ialah syirik kecil: yaitu riya." Riwayat Ahmad dengan sanad hasan.
9) Allah tidak akan menerima dan memberi pahala atas perbuatan ria (terhapusnya pahala yang sudah diperbuat)
10) Di akhirat akan dicampakkan ke dalam api neraka.
b. Bahaya riya yang merugikan orang lain
1) Berpotensi saling bermusuhan, karena ia mengungkit apa yang yang diberikannya kepada orang lain.
2) Memamerkan amalnya kepada orang lain, sehingga orang lain menjadi benci dan tidak senang terhadapnya
3) Sikap dan perilakunya yang ria akan berpotensi menimbulkan pertikaian dan akhirnya menimbulkan pengrusakan
Tanda-tanda riya’
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.”
Kebiasaan yang dapat menghindari perbuatan riya
a. Memfokuskan niat ibadah (ikhlas) hanya semata-mata karena Allah SWT
b. Membiasakan diri membaca basmallah sebelum memulai pekerjaan
c. Membiasakan menjaga lisan saat bekerja
d. Membiasakan diri menolong atau membantu pekerjaan orang lain tanpa harus disuruh dan meminta imbalan
e. Membiasakan bersedekah atau mengeluarkan infaknya setiap mendapat rezeki atau kesenangan
f. Tidak mudah tergiur atau terpengaruh dengan kemewahan orang lain
g. Tidak membuat kecemburuan kepada orang lain
h. Saling menasehati untuk kebaikan dan kesabaran dalam beribadah
i. Tidak memamerkan sesuatu karena pada dasarnya semua yang dimiliki adalah dari Allah dan akan kembali kepada-Nya
j. Membiasakan diri untuk bersyukur kepada Allah SWT
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim (14) : 7)
3. Aniaya (adh-Dhulm)
Kata “adh-dhulm” berasal dari fi’l (kata kerja) “dhalama – yadhlimu” artinya : ”rugi, gelap, aniaya” atau yang berarti “Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini sepadan dengan kata “al-Jawr”. Dalam bahasa Indonesia, zalim biasa disebut dengan istilah “aniaya”, artinya melampaui batas, keterlaluan, atau tindakan/perbuatan yang melampaui batas yang dapat merugikan dirinya dan orang lain. Menganiaya berarti menyiksa, menyakitidan berbagai bentuk kesewenangan lainnya seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa dan lain-lain.
Demikian juga definisi yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam hal ini, ia adalah lawan dari kata al-‘Adl (keadilan).
Dengan demikian yang dimaksud dengan aniaya (dhulm) adalah meletakkan, menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Siapakah orang yang dhalim itu? Q.S Al Baqarah [2]: 229 menjawab :


Artinya : “…Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Dari Ibnu ‘Umar -radhiallaahu ‘anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat”. (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat. Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran karena kekikiran itu telah mencelakakan umat sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Hadits diatas dan semisalnya merupakan dalil atas keharaman perbuatan zhalim dan mencakup semua bentuk kezhaliman, yang paling besarnya adalah syirik kepada Allah Ta’âla sebagaimana di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kedhaliman yang besar”.
Di dalam hadits Qudsiy, Allah Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriku dan menjadikannya diharamkan antara kalian”.
Ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar tentang keharaman perbuatan dhalim dan penjelasan tentang keburukannya banyak sekali. Oleh karena itu, hadits diatas memperingatkan manusia dari perbuatan zhalim, memerintahkan mereka agar menghindari dan menjauhinya karena akibatnya amat berbahaya, yaitu ia akan menjadi kegelapan yang berlipat di hari Kiamat kelak.
Ketika itu, kaum Mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar keimanan sembari berkata: “Wahai Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami”. Sedangkan orang-orang yang berbuat zhalim terhadap Rabb mereka dengan perbuatan syirik, terhadap diri mereka dengan perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak sewenang-wenang terhadap darah, harta atau kehormatan mereka; maka mereka itu akan berjalan di tengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat melihat arah jalan sama sekali.
Klasifikasi Kezhaliman
Syaikh Ibn Rajab berkata: “Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama, kezhaliman seorang hamba terhadap diri sendiri; Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah syirik sebab orang yang berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan Khaliq. Dengan demikian, dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya; besar maupun kecil.
Kedua, kezhaliman yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait dengan jiwa, harta atau kehormatan.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam telah bersabda ketika berkhuthbah di haji Wada’ : “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, di bulan haram kalian ini dan di negeri (tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang pernah terzhalimi oleh saudaranya, maka hendaklah memintakan penghalalan (ma’af) atasnya sebelum kebaikan-kebaikannya (kelak) akan diambil (dikurangi); Bila dia tidak memiliki kebaikan, maka kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut akan diambil lantas dilimpahkan (diberikan) kepadanya”.
Ciri-ciri orang zalim berdasarkan Al Qur’an
Al Qur’an memberikan informasi banyak sekali tentang identitas atau cirri orang zalim yang sikap perilakunya atau cara memimpinnya dinisbatkan kepada firman di antaranya sebagai berikut :
a. Senantiasa rakus terhadap kekuasaan.
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Artinya : Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (Q.S. An Naml : 34)
b. Sikap zalim dapat juga diketahui dari sifat-sifat sombong, congkak, arogan, sewenang-wenang, sok kuasa, mentang-mentang dan mengklaim bahwa (seolah-olah) semua kesuksesan, dialah penggagasnya.
c. Kaki tangannya (anak buahnya) sebagai perpanjangan kekuasaannya menindas dan menggusur si lemah.
d. Merencanakan pembunuhan/menghilangkan nyawa kepada golongan tertentu agar keinginan (nafsu) memimpin lebih lama lagi terus berlangsung.
e. Akan lebih berbuat sadis, bila intimidasi yang pertama tidak mampu menimbulkan rasa gentar terhadap pihak lawannya.
Macam-macam sifat zalim/aniaya
Pada dasarnya secara umum zalim atau perbuatan aniaya dapat diklasifikasi 4 macam :
a. Zalim kepada Allah, dengan cara tidak mau melaksanakan perintah allah dan melaksanakan laranganNya. Contoh : meninggalkan ibadah shalat, puasa, zakat dan ibadah lainnya, bahkan berbuat syirik, sihir dan perbuatan terlarang lainnya.
b. Zalim kepada diri sendiri, contohnya : membiarkan diri sendiri tetap bodoh, miskin, malas, minum-minuman keras, bunuh diri dan lain-lain.
c. Zalim kepada orang lain (sesama manusia), contohnya : mengumpat, mengado domba, memfitnah, mencuri, merampok, penyiksaan, pembunuhan, dan lain-lain.
d. Zalim kepada makhluk lain atau alam sekitarnya, contohnya : menebang pohon tanpa aturan, membuang sampah sembarangan, menyembelih binatang dengan senjata tumpul, dan lain-lain.
Penyebab terjadinya
Ibnu al-Jauziy menyatakan: “kedhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil milik orang lain tanpa hak, dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Penyebab kedhaliman juga dapat dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama sehingga tidak mengetahui bahwa :
§ Hal itu amat dilarang bahkan diharamkan
§ Ketidakadilan akan menyebabkan adanya pihak yang terzhalimi
§ Orang yang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya
§ Orang yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan haknya
§ Orang yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana menjatuhkan harga diri orang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun

Kebiasaan perbuatan pelajar yang berpotensi menjadi zalim
a. Kebiasaan membolos sekolah
b. Kebiasaan malas mencatat dan belajar. Sering tidur di kelas dan sering mengerjakan pekerjaan (PR) di sekolah.
c. Kebiasaan usil / jahil yang berpotensi menimbulkan permusuhan
d. Berkelahi antar pelajar (tawuran)
e. Kebiasaan merokok/ mabuk
f. Kebiasaan telat masuk sekolah dengan sengaja karena malas
g. Kebiasaan mengobrol/tidak memperhatikan saat guru menerangkan pelajaran
h. Kebiasaan mencuri, atau menyembunyikan harta milik teman-teman sekelasnya.
i. Memprovokasi teman-temannya dalam pelanggaran sekolah
Bahaya sifat zalim
o Akan merugikan kehidupan diri sendiri baik di dunia maupun akhirat
o Akan memperoleh adzab /laknat dari Allah (Q.S. 5 : 78-80)
o Akan memperoleh siksaan allah di akhirat (Q.S. 5 : 33)
o Amal perbuatannnya akan menjadi sia-sia di sisi Allah (Q.S. 18 : 103 – 105)
Cara-cara menghindari dari sikap aniaya/zalim
· Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap menghadapi masalah
· Jangan membuka aib atau cacat orang lain
· Menumbuhkan rasa persaudaraan, kasih sayang, dan persaudaraan kepada antarsesama
· Menyadari bahwa setiap perbuatan mempunyai sebab akibat sesuai dengan sunnatullah
· Menyadari do’a orang yang teraniaya itu makbul
· Mengamalkan ajaran agama dengan memperbanyak berbuat kebaikan sehingga tak ada waktu untuk berbuat aniaya
· Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT
· Berhati-hati dalam bertindak, berbicara dan dalam menerima setiap informasi yang ada
· Meluruskan / memahami ketauhidan
· Membiasakan menjaga amanah, yaitu memberikan hak orang lain
· Membiasakan bersikap adil dalam memutuskan suatu perkara
Hukuman Allah terhadap pemimpin yang zalim
· Akan dipertanggungjawabkan segenap perbuatannya. (Q.S. 36 ; 65, 45 ; 15)
· Akan mendapatkan balasan setimpal dengan apa yang telah dikerjakannya. (Q.S. 10 ; 27)
· Akan mendapatkan siksaan di neraka selama-lamanya. (Q.S. 16 ; 88, 98 ; 6)
· Akan mendapatkan siksaan yang besar, dibunuh dan disalib (Q.S. 5 ; 33)
4. Diskriminasi
Diskriminasi adalah istilah populer yang seringkali kita dengar seiring dengan gencarnya istilah demokrasi disebut. Diskriminasi bermakna perbedaan warna kulit; perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara karena perbedaan warna kulit. Awal munculnya istilah ini memang dari adanya pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara atas dasar warna kulit. Ada kelompok warga berwarna kulit hitam dan putih.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto, diskriminasi artinya adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama warga Negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)
Istilah diskriminasi kemudian meluas maknanya kepada segala bentuk pembedaan atas warga negara atas dasar suku bangsa dan ras antar negara (SARA).
Islam sangat mengecam perbuatan diskriminatif. Islam tidak memandang kemuliaan seseorang atas dasar penampakan lahiriyah dan segala unsur SARA. Memang kemajemukan umat adalah hal yang sangat wajar dan semestinya. Kemajemukan bukan untuk diperselisihkan atau dipertentangkan, karena memang kemajemukan ini adalah takdir Allah SWT.
Kemajemukan seyogyanya dijadikan media untuk saling mengenal, memahami dan mempelajari agar tampak mana siapa yang paling bertaqwa di sisi Allah SWT. Agar kita mampu menghindari sikap deskriminatif tersebut, sebaiknya kita mengambil hikmah dari firman Allah SWT dalam QS. Al Hujurat [49] : 10-13 ;

























Artinya :
10. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa mengambil pelajaran untuk menghindari sikap diskriminatif sebagai berikut:
4. Sesama orang yang beriman dan beragama Islam adalah saudara yang saling menyayangi dan menghormati.
5. Yang membedakan mereka di sisi Allah adalah kualitas ketaqwaan mereka.
6. Oleh karena itu kita dilarang untuk:
§ Saling merendahkan
§ Saling mencela
§ Saling memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan
§ Saling berperasangka jelek (saling curiga)
§ Saling mencari-cari kejelekan orang lain
§ Saling menggunjingkan
7. Keragaman ciptaan, bangsa dan suku adalah sesuatu yang wajar dan niscaya.
8. Allah tidak melihat kemuliaan seseorang dari penampilan luar.
9. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling taqwa.
10. Allah paling tahu siapa yang paling bertaqwa dan siapa yang hanya berpura-pura bertaqwa.
Dalam ajaran Islam keadilan ditegakkan tanpa memandang bulu/diskriminasi baik rakyat jelata ataupun raja harus tunduk kepada hukum dan ajaran Allah SWT, jika ia melanggar harus menerima konsekuensinya. Khalifah Umar bin al Khaththab r.a. pernah berkata :
ﺇِﻥﱠﭐﻹِﺳْﻼَﻡَﺟَﻤَﻊَﺑَﻴْﻨﻜُﻤَﺎﻭَﺳَﻮﱠﻯﺑَﻴْﻦَﭐﻟْﻤﻠِﻚِﻭَﭐﻟﺴﻮْﻗَﺔِﻓِﻰﭐﻟْﺤﺪﱢ
Artinya : “Sesungguhnya Islam itu menghimpun di antara kamu satu sama lain dan memandang sama antara raja dan rakyat dari segi hukum (sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah)”. (Umar bin Khaththab).

0 komentar:

Posting Komentar