“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan agar kamu jangan terlalu gembira dengan apa yang Dia berikan kepada kamu dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Al-Hadid: 22-23)
Kehidupan dunia bersifat fana. Sementara. Persis seperti kuncup bunga yang mekar dan wangi. Setelah itu jatuh gugur dan mengering disapu angin lalu. Tak beda dengan embun pagi. Kala mentari mulai meninggi, embun menguap tanpa meninggalkan jejak yang berarti.
Begitulah hakikat dunia. Karenanya segala kesenangan yang kita kecap adalah sementara. Kesusahan yang membelit pun fana. Keyakinan seperti ini adalah vitamin bagi jiwa kita untuk bisa membangun kekuatan tawazun (keseimbangan). Jiwa kita tak akan dipenuhi kesombongan dan over rasa bangga kala meraih kesuksesan dan mengecap kesenangan. Hati kita pun tidak merasa sempit, putus asa, apalagi rapuh tatkala dirundung musibah dan kegagalan.
Sikap tawazun akan terasa lezat kita kecap manakala jiwa kita melepas rasa belenggu kesusahan dan kebingungan dengan berupaya meminta bantuan kepada Allah Yang Mahakuat dan Mahakaya. Bersamaan dengan itu, kita tapaki jejak-jejak amal usaha yang bisa menjadi sebab ikhtiar kita untuk keluar belenggu dari kesusahan. Setelah itu, kita ridha dengan apa hasilnya dan pasrah pada ketentuan Allah swt. yang Mahatahu dengan maksud kehendak-Nya atas diri kita.
Sebagai mukmin sejati, kita berhajat betul pada cara pandang seperti itu agar hidup kita bisa lurus. Agar benar-benar mengurat-akar dalam jiwa, kita butuh contoh. Dan cukuplah bagi kita kisah ketawazunan para nabi dan orang-orang shalih terdahulu. Itulah cermin bagi langkah-langkah kita menapaki kefanaan ini.
Sejarah orang-orang shalih mengajarkan kepada kita bahwa setiap keberhasilan di dunia nilainya terletak pada tujuan kita. Pada niat untuk apa sesuatu itu kita capai. Bila kesuksesan yang kita rengkuh itu bertujuan untuk kebaikan diri kita dan umat manusia, maka kesuksesan itu kebaikan dan keberkahan bagi kita. Namun bila kesuksesan itu tidak kita kaitkan dengan akhirat melalui niat ikhlas, maka kesuksesan itu adalah sementara. Kesuksesan yang menipu.
Sebaliknya, jika kita gagal, kita perlu mencari tahu sebab-sebabnya. Dan kita yakin betul bahwa kegagalan yang tidak mengakibatkan kemunduran diri kita dari hal-hal yang bersifat ukhrawi adalah bukan kegagalan yang hakiki. Karena kesuksesan yang hakiki adalah kesuksesan yang berkenaan dengan kehidupan akhirat. Camkan ayat berikut ini.
“Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, maka sesungguhnya ia beruntung. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (Ali Imran: 185)
Sungguh apa yang tersedia dalam kehidupan dunia ini jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan apa yang dicita-citakan dan diangankan manusia. Karena itu, beruntunglah orang yang selalu menghubungkan apa-apa yang diperolehnya di dunia di sepanjang hidupnya dengan akhirat yang sangat luas dan kekal.
Jangan biarkan diri kita menyerah dengan kondisi kekinian, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Kita harus selalu mengarahkan pandangan pada akibat, dengan itu kita akan keluar dari kungkungan kekinian menuju ke masa depan yang luas
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18) []