Sebagai ajaran Rabbani Islam memang lengkap dan sempurna. Islam mengatur segenap urusan kehidupan manusia dari perkara yang paling kecil hingga perkara yang paling besar. Dari urusan yang bersifat individual hingga urusan sosial.

Salah satu tuntunan Islam ialah perkara bertegur sapa antara seorang beriman dengan Muslim lainnya. Nabi Muhammadshollallahu ’alaih wa sallammencontohkan bahwa bila seorang Muslim berjumpa dengan Muslim lainnya, maka hendaklah ia mengucapkan sapaan khas Islam yaitu As-Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh, artinya Salam damai untukmu dan semoga Rahmat dan Keberkahan Allah menyertaimu. Subhanallah...! Begitu indahnya tegur-sapa yang diajarkan agama Allah kepada hamba-hambaNya yang beriman.
Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan tindakan mengucapkan salam sebagai bentuk ajaran Islam yang lebih baik. Menebar salam disetarakan dengan memberi makanan kepada orang yang dalam kesusahan.

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ

تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Manakah ajaran Islam yang lebih baik?” Rasul shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Hendaklah engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak.” (HR Bukhary)

Dalam hadits yang lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan korelasi antara mengucapkan salam dengan saling mencinta antara satu Muslim dengan Muslim lainnya. Kemudian korelasi antara saling mencinta dengan keimanan. Kemudian akhirnya korelasi antara beriman dengan izin dari Allah untuk masuk surga, negeri keabadian yang penuh dengan kesenangan abadi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا
أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
Berkata Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Kalian tidak beriman secara sempurna sehingga kalian saling mencinta. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara bila kalian lakukan akan saling mencinta? Biasakanlah mengucapkan salam di antara kalian (apabila berjumpa).” (HR Muslim)

Dengan kata lain Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin menjelaskan bahwa kumpulan Muslim yang tidak suka saling menebar salam maka tidak akan saling mencinta. Bila atmosfir saling mencinta tidak ada, maka keimanannya diragukan keberadaannya. Dan jika keimanannya diragukan, maka kemungkinan masuk surga-pun menjadi kecil.

Saudaraku, marilah kita berlomba untuk masuk surga dengan jalan senantiasa menebar salam satu sama lain di antara sesama kaum muslimin. Sungguh sederhana, namun sebagian kita enggan melakukannya. Padahal akibat yang ditimbulkannya menjadi idaman setiap Muslim: Masuk surga...! Bukankah ini bentuk kompetisi satu-satunya yang dibenarkan Allah untuk diperebutkan di antara sesama Muslim?

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا

السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,” (QS Ali Imran ayat 133)

Ya Allah, aku mohon kepadaMu akan RidhaMu dan SurgaMu dan aku berlindung kepadaMu dari MurkaMu dan NerakaMu.

Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/keutamaan-menyebarkan-as-salamu-alaikum.htm

Dari Abi Sa’id Al-Khudri –semoga Allah meridainya– ia mengatakan, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ia harus mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak bisa maka ia harus mengubah dengan lidahnya. Jika ia tidak bisa maka ia harus mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya.)

Di antara kewajiban seorang mukmin adalah melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar (memerintahkan untuk melakukan kebajikan dan melarang melakukan kemungkaran). Rasulullah saw. menggambarkan pentingnya pekerjaan ini dalam hadits berikut ini.

“Perumpaan orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum Allah dengan orang-orang yang melanggarnya bagaikan sekelompok orang yang naik kapal. Lalu mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang duduk di bagian atas dan siapa yang duduk di bagian bawah (dek). Orang-orang yang duduk di bagian bawah itu harus naik ke atas jika mereka membutuhkan air. Lalu salah seorang dari mereka mengatakan, “Sebaiknya kita membolongi tempat kita ini sehingga kita tidak mengganggu orang lain.” Jika orang-orang yang ada di atas membiarkan mereka melaksanakan apa yang mereka inginkan, maka niscaya akan binasalah semuanya. Namun, jika mereka membimbingnya, maka mereka yang ada di atas akan selamat dan selamat pula mereka yang ada di bawah.” (Bukhari)

Dengan sangat jelas, Allah swt. menyebut pekerjaan tersebut sebagai salah satu sifat yang harus melekat pada orang-orang beriman. Hal itu dijelaskan dalam ayat ini: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Untuk tercapainya tujuan-tujuan nahyi munkar itu, Islam mengiringi perintah tersebut dengan beberapa aturan. Karena, mencegah kemungkaran ditujukan untuk menyelamatkan dan mewujudkan yang maslahat atau yang lebih maslahat. Bukan sebaliknya.

Syarat pelaku amar makruf nahyi munkar

Syaikh Abdul Qadir Audah –rahimahullah– menyebutkan tiga syarat yang disepakati oleh para ulama yang harus ada pada setiap pelaku amar makruf dan nahyi munkar. Ketiga syarat itu adalah: mukallaf, memahami, dan bebas dari tekanan; mengimani agama Islam; dan memiliki kemampuan untuk melakukan amar makruf dan nahyi munkar itu. Jika tidak, maka kewajibannya adalah menolak dengan hati.

Ada pun syarat yang tidak semua ulama menyepakatinya adalah: pertama, sifat ‘adalah, yakni sifat shalih, takwa, dan terpercaya. Tentang ini, Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika amar ma’ruf dan nahyi munkar hanya dilakukan oleh orang yang sempurna segala sesuatunya, maka niscaya tidak akan ada seorang pun yang melakukannya.” Kedua, izin imam (pemimpin). Ini juga termasuk yang diperselisihkan. Jumhur ulama tidak mensyaratkan hal ini.

Syarat pelaksanaan nahyi munkar

Ada dua syarat pelaksanaan nahyi munkar. Pertama, ada atau terjadinya kemungkaran. Kemungkaran adalah segala kemaksiatan yang diharamkan atau dilarang oleh Islam. Kedua, kemungkaran yang dimaksud hadits di atas dan wajib diperangi adalah perbuatan yang secara qath’i (tegas, eksplisit) dinyatakan sebagai kemungkaran dalam Al-Qur’an atau Sunnah, atau berdasarkan ijma’ dan bukan yang diperselisihkan. Kemungkaran-kemungkaran yang qath’i itu adalah yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai fahsya atau munkar, seperti zina, mencuri, riba, dan melakukan kezhaliman.

Juga termasuk kemungkaran qath’i yang disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai al-mubiqat (hal-hal yang membinasakan), seperti yang diuraikannya dalam hadits berikut. “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu?” Rasulullah saw. menjelaskan, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara haq, makan riba, makan harta yatim, lari dari gelanggang saat jihad, dan menuduh zina kepada wanita suci.” (Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi)

Kemungkaran itu tampak karena dilakukan secara terbuka dan bukan hasil dari tajassus (mencari-cari kesalahan). Sebab Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kamu jika mencari-cari aurat (kesalahan-kesalahan) manusia, maka kamu menghancurkan atau nyaris menghancurkan mereka.” (Shahih Ibnu Hibban)

Tahapan-tahapan pelaksanaannya

Para ulama memberikan arahan agar dalam pelaksanaan menghilangkan kemungkaran diambil langkah-langkah seperti berikut:

Pertama, melakukan penyadaran dan pemahaman. Allah swt. Berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taubah: 115)

Kedua, menyampaikan nasihat dan pengarahan. Jika penjelasan dan informasi tentang ketentuan-ketentuan Allah yang harus ditaati sudah disampaikan, maka langkah berikutnya adalah menasihati dan memberikan bimbingan. Cara ini dilakukan Rasulullah terhadap seorang pemuda yang ingin melakukan zina dan terhadap orang Arab yang kencing di Masjid.

Ketiga, peringatan keras atau kecaman. Hal ini dilakukan jika ia tidak menghentikan perbuatannya dengan sekadar kata-kata lembut dan nasihat halus. Dan ini boleh dilakukan dengan dua syarat: memberikan kecaman hanya manakala benar-benar dibutuhkan dan jika cara-cara halus tidak ada pengaruhnya. Dan, tidak mengeluarkan kata-kata selain yang yang benar dan ditakar dengan kebutuhan.

Keempat, dengan tangan atau kekuatan. Ini bagi orang yang memiliki walayah (kekuasaan, kekuatan). Dan untuk melakukan hal ini ada dua catatan, yakni: catatan pertama, tidak secara langsung melakukan tindakan dengan tangan (kekuasaan) selama ia dapat menugaskan si pelaku kemungkaran untuk melakukannya. Jadi, janganlah si pencegah kemungkaran itu menumpahkan sendiri khamer, misalnya, selama ia bisa memerintahkan peminumnya untuk melakukannya. Catatan kedua, melakukan tindakan hanya sebatas kebutuhan dan tidak boleh berlebihan. Jadi, kalau bisa dengan menarik tangannya, tidak perlu dengan menarik jenggotnya.

Kelima, menggunakan ancaman pemukulan. Ancaman diberikan sebelum terjadi tindakannya itu sendiri, selama itu mungkin. Dan ancaman tentu saja tidak boleh dengan sesuatu yang tidak dibenarkan untuk dilakukan. Misalnya, “Kami akan telanjangi kamu di jalan,” atau “Kami akan menawan isterimu,” atau “Kami akan penjarakan orangtua kamu.” (Lebih jauh lihat Fahmul-Islam Fi Zhilalil-Ushulil-‘Isyrin, Jum’ah Amin ‘Abdul-‘Aziz, Darud-Da’wah, Mesir).

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya– menjelaskan akhlak amar ma’ruf dan nahyi munkar sebagai berikut:

* Amal seseorang tidak dapat dikatakan shalih jika dilakukan tanpa ilmu dan pemahaman. Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya akan lebih besar dari pada kebaikannya.”

* Yang termasuk perbuatan baik adalah melakukan amar dan nahyi berdasarkan jalan lurus, yakni keridhaan Allah swt.

* Amar dan nahyi harus dilakukan secara lemah lembut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sikap lemah lembut dalam sesuatu melainkan membuatnya indah. Dan tiadalah sikap kasar dalam sesuatu melainkan membuatnya buruk.” (Muslim dan Ibnu Majah)

* Seorang mukmin haruslah bersifat penyantun dan penyabar dalam menerima cobaan. (lihat Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar, Ibnu Taimiyyah)

Sedangkan Imam Ibnul Qayyim menegaskan, “Bila yang akan terjadi –dengan nahyi munkar itu- semakin kuat dan semakin hebatnya kemungkaran, maka melakukannya dilarang dan jika engkau melakukannya maka engkau berdosa.” Ini menegaskan bahwa untuk melaksanakan perintah Allah, khususnya amar ma’ruf dan nahyi munkar, harus memakai akhlak yang diajarkan-Nya dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Allahu a’lam.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/memerangi-kemungkaran/
 

Tak satu pun sifat yang paling diminati seorang calon pemimpin melebihi adil. Bagaikan bentangan layar, adil menggerakkan seluruh potensi kapal kepemimpinan seseorang menuju arah yang diinginkan. Tanpanya, kapal kepemimpinan hanya terombang-ambing di samudera masalah yang begitu luas.

Semua kita adalah pemimpin. Dan, semua pemimpin punya tanggung jawab kepemimpinan. Rasulullah saw. bersabda, “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (pegawai) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seperti itulah Islam memberikan tantangan pada kita untuk senantiasa memaknai kehidupan menjadi tingkat yang lebih tinggi. Bahwa, kehidupan bukan untuk menyendiri dan berusaha tak peduli dengan sekitar. Kehidupan adalah tanggung jawab.

Salah satu tanggung jawab yang selalu melekat dalam jiwa seorang mukmin adalah adil. Di situlah seorang mukmin bukan sekadar berhadapan dengan amanah dan tanggung jawab, tapi juga memaknai tanggung jawab pada nilai tertinggi.

Selama jiwa kepemimpinan seseorang masih hidup, sifat adil akan selalu menjadi takaran. Sebagai apa pun. Walau sebagai pemimpin terhadap diri sendiri. Mampukah kita adil menata hak-hak yang ada pada diri kita. Dan ketidakadilan sangat berbanding lurus dengan ketidakseimbangan diri.

Orang yang mudah sakit misalnya, berarti ia sedang mengalami ketidakseimbangan. Ini berarti ada ketidakadilan pada diri. Boleh jadi, ada hak-hak anggota tubuh yang terabaikan. Ketidakadilan menjadi tubuh menjadi tidak seimbang. Dan ketidak seimbangan membuat diri menjadi rusak dan sakit. Pendek kata, sakit adalah ungkapan tubuh untuk menuntut pemenuhan hak salah satu anggota tubuh dengan cara paksa.

Mencermati keadilan pada diri akan menggiring kita untuk senantiasa mengukur dan menakar: mampukah kita masuk pada tanggung jawab yang lebih. Atau, belum. Kemampuan mengukur dan menakar ini pun buah dari sifat adil diri kita. Jika kita lengah dalam masalah ini, kelak kita bukan hanya menzhalimi diri sendiri, tapi juga orang lain.

Seperti itulah mungkin, Allah swt. menggiring kita untuk senantiasa mencermati keseimbangan. Lihatlah alam raya yang begitu seimbang. Tertata rapi, indah, dan sempurna. Dan itulah bukti keadilan Allah tegak di alam ini. Kalau alam yang pada awalnya seimbang, kenapa manusia dan masalahnya yang juga bagian dari alam tidak mampu adil dan seimbang. Apa yang salah?

Allah swt. berfirman dalam surah Ar-Rahman ayat 5 hingga 13. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Tuntutan berlaku adil akan lebih kencang ketika kepemimpinan masuk pada wilayah publik. Variabel-variabel yang dihadapi kian meluas. Ia bukan hanya harus mampu menata sifat adil dalam pertambahan jumlah objek, tapi juga pada mutu.

Boleh jadi, seseorang mampu adil terhadap objek yang banyak, tapi tidak mampu menjaga mutu adil ketika banyak rongrongan dan tuntutan datang bertubi-tubi. Dan itu sebagai sebuah kemestian pada wilayah publik yang heterogen dan majemuk.

Kadang, kita terpaksa mengakui bahwa manusia memang makhluk yang unik. Sifat adil pada manusia bisa terlahir pada susunan yang bukan hanya berbentuk seri, tapi juga paralel. Artinya, ada manusia yang mampu adil pada kepemimpinan di masyarakat, tapi gagal pada diri dan keluarga.

Boleh jadi, keunikan ini tidak berlaku pada umumnya manusia. Karena biasanya, orang yang gagal berlaku adil pada diri, akan sulit bersikap adil dalam kehidupan keluarga. Terlebih lagi dalam masyarakat dan negara. Inilah kenapa para pemimpin yang zhalim pada rakyatnya, pasti menyembunyikan masalah berat yang sedang terjadi antara ia dan keluarganya.

Seperti itulah dengan pemimpin Mekah di masa Rasulullah saw., Abu Sufyan semasa jahiliyahnya. Belakangan, baru terungkap dari mulut isterinya, Hindun, bahwa sang suami begitu kikir dengan uang belanja. Sehingga tak jarang, Hindun mencuri uang suaminya ketika sang suami lengah. Ada masalah ketidakadilan antara Abu Sufyan dengan Hindun, isterinya.

Hal inilah yang mungkin pernah dikhawatirkan Rasulullah saw. ketika isteri-isteri beliau menuntut hak yang lebih baik. Mereka merasa kalau kehidupan yang diberikan Rasulullah teramat sederhana. Beliau saw. khawatir hanya bisa mampu adil pada umat dan negara, tapi tak begitu dengan urusan rumah tangga sendiri. Beliau begitu bingung hingga mengurung diri beberapa hari. Akhirnya, Allah sendiri yang memberikan jawaban buat para isteri Nabi.

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, kemarilah, akan aku berikan kesenangan kepada kalian dan aku akan menceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian, pahala yang besar.” [QS. Al-Ahzab (33): 28-29]

Sedemikian bersihnya kepemimpinan Rasulullah saw. Tapi, toh, beliau mesti menghadapi tuntutan mutu keadilan yang lebih berat dan rumit. Apalagi jika kepemimimpinan sudah terkontaminasi dengan kepentingan. Ini akan jauh lebih rumit. Akan selalu muncul kecenderungan yang menggiring seseorang untuk berada pada satu tepi timbangan, dan lengah dengan tepi yang lain.

Boleh jadi, emosi menggiring seseorang hingga ia tak lagi mampu berlaku adil. Kebencian terhadap sesuatu kerap membuat seorang pemimpin mengurangi timbangan pada sesuatu itu. Di saat itulah, bentangan layar keadilannya timpang. Kapal kepemimpinan pun bukan hanya tak sampai tujuan. Bahkan, bisa tenggelam pada samudera masalah yang terus bergelombang.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/ajari-diri-berlaku-adil/




Kehidupan di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada kalanya menang ada kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan yang menipu, sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Itulah dinamika kehidupan di alam fana. Sungguh berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat kelak nanti. Barangsiapa senang, maka ia akan selamanya senang (Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan ini). Barangsiapa menderita, maka ia akan menderita selamanya (wa na’udzu billahi min dzalika).

Orang beriman yang benar-benar memahami hakikat kehidupan di dunia tidak akan pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesenangan sehingga membuat lupa diri. Demikian pula saat mengalami kesedihan, maka ia tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam keputus-asaan.



Di antara ciri khas orang beriman ialah saat ia dirundung malang, maka ia segera kembali kepada Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Allah Subhaanahu wa ta’aala. Ia segera mengingatNya (dzikrullah) dan memanggil-Nya. Sebab ia tahu bahwa hanya dengan mengingat dan memanggil Allah sajalah hati akan memperoleh ketenteraman. Tidak ada tempat lain yang patut dijadikan muara pengaduan selain kepada Rabb, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa kehidupan ini.

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

”Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’du ayat 28)

Setiap orang pasti pernah mengalami kondisi hidup yang mendatangkan kesedihan. Bahkan kadangkala bila ujian hidup terasa begitu berat ia menjadi penderitaan yang menimbulkan kesedihan sangat mendalam. Barangkali ada yang anaknya -buah hatinya- baru saja berpulang ke Rahmatullah. Atau barangkali seseorang baru saja bercerai dengan pasangan hidupnya. Atau barangkali baru dapat vonis dokter kalau dirinya mengidap penyakit berat. Atau barangkali anak pertamanya lahir dengan ketidak-sempurnaan fisik alias cacat permanen. Apapun keadaannya, yang jelas semua itu merupakan ujian Allah bagi orang beriman. Bila ia lulus menghadapinya, maka derajat imannya akan naik di sisi Allah.



Alhamdulillah kita punya Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang memberikan tuntunan bagaimana seharusnya kita selaku orang beriman berrespon terhadap keadaan sulit dalam hidup di dunia fana ini. Beliau mengajarkan sebuah do’a bagi siapapun yang menderita kesedihan mendalam.

Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Doa orang yang sedang menderita (kesedihan yang mendalam) ialah:

“Ya Allah, RahmatMu aku harapkan, janganlah Engkau serahkan segala urusanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku, tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau.” (HR Abu Dawud)

Dari do’a ini sekurangnya ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik:

Pertama, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan orang yang menderita kesedihan mendalam agar hanya dan hanya mengharapkan rahmat (kasih-sayang) Allah. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan ummatnya agar senantiasa kembali kepada Allah sebelum segala sesuatunya. Sebab betapapun keadaan sulit yang dihadapi seseorang, namun jika dirinya masih dirahmati Allah berarti ia masih dikategorikan sebagai orang yang beruntung. Alangkah ruginya seseorang yang berhasil meraih berbagai kesuksesan duniawi namun dirinya jauh dari rahmat (kasih-sayang) Allah. Alangkah tertipunya orang yang berhasil mendapat simpati bahkan pujian manusia banyak namun Allah tidak mencurahkan rahmat-Nya kepada dirinya.

Kedua, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan kita untuk selalu bertawakkal hanya kepada Allah semata dalam semua urusan dan situasi kehidupan. Jangan hendaknya seseorang menyerahkan urusan dan persoalan hidupnya kepada dirinya sendiri atau kepada manusia lain. Sebab tidak ada manusia yang menguasai taqdir hidup dirinya sendiri apalagi orang lain. Allah sajalah Yang Maha Kuasa untuk mengubah hidup kita dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya. Allah sajalah Yang Maha Kuasa untuk mengubah taqdir seseorang. Oleh karenanya kita disuruh berdo’a kepada Allah. Jika do’a kita diperkenankan oleh Allah, maka sangat mungkin taqdir kita berubah. Mohonlah kepada Allah agar segala urusan kita diperbaiki-Nya.

Ketiga, kita disuruh mengulang kembali ikrar Tauhid Laa ilaaha illa Allah. Sebab dengan kita mengulang kembali komitmen fundamental ini, maka Allah akan memandang kita sebagai seorang mu’min yang memahami sepenuhnya ucapan dalam sholat kita yang berbunyi:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

”Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah ayat 4)

Saudaraku, marilah kita menghibur diri di kala sedih dengan jalan terbaik, yaitu mengikuti sunnah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Marilah kita biasakan membaca do’a yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ajarkan. Semoga dengan demikian Allah benar-benar akan mendatangkan ketenteraman bagi kita bersama. Selain itu, mudah-mudahan Allah akan memberi solusi terbaik saat kita menghadapi berbagai ujian kehidupan dunia yang fana ini.



Elok kiranya bila dalam rangka mengharapkan agar do’a kita lebih mungkin dikabulkan Allah, maka kita perbanyak membaca do’a pelipur lara ini ketika kita sedang dalam keadaan bersujud, khususnya ketika sujud terakhir dalam sholat-sholat sunnah kita. Sebab Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Sedekat-dekatnya hamba kepada Rabbnya ialah ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah do’a.” (HR Muslim)


Sumber : http://www.eramuslim.com/suara-langit/ringan-berbobot/doa-orang-yang-menderita-kesedihan-mendalam.htm


Definisi taubat menurut bahasa diambil dari kata “at-taubah” bentuk “isim masdar” berarti ar-rujuu’ (kembali). Sedangkan menurut istilah, taubat adalah kembali dari kondisi jauh dari Allah swt menuju kedekatan kepada-Nya. Atau : pengakuan atas dosa, penyesalan, berhenti, dan tekad untuk tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.

Mengapa kita harus bertaubat?
Pertama, karena manusia pasti berdosa.
Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Sang Kekasih (Allah swt), maka lari dari hal yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.

Dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti segera menjauh darinya.

Jika ada manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk melakukannya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan melakukan dosa, pasti ia pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah, pastilah ia tidak akan mampu memberikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.

Kedua, karena Allah swt memerintahkan kita bertaubat,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” At Tahrim:8

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” An Nuur:31

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” Hud:3

Ketiga, karena Allah mencintai orang yang bertaubat,

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Al Baqarah:222

Keempat, karena Rasulullah saw senantiasa bertaubat

Padahal beliau seorang nabi yang ma’shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari.

Syarat-Syarat Taubat

1. Penyesalan dari dosa karena Allah.
2. Berhenti melakukannya.
3. Bertekad untuk tidak mengulanginya di masa datang.
4. Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum matahari terbit dari barat.
5. Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu: melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaannya, atau memperbanyak amal kebaikan.

Dosa Kecil Menjadi Besar di Sisi Allah

Pertama, jika dilakukan terus menerus,

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” Ali Imran:135

Dosa besar yang hanya dilakukan sekali lebih bisa diharapkan pengampunannya dari pada dosa kecil yang dilakukan terus menerus.

Kedua, jika seorang hamba meremehkannya.

Setiap kali seorang hamba menganggap besar sebuah dosa niscaya akan kecil di sisi Allah, dan setiap kali ia menganggap remeh sebuah dosa niscaya akan menjadi besar di sisi-Nya.

Abdullah bin Mas’ud ra berkata : “Seorang mukmin memandang dosanya bagaikan gunung yang akan runtuh menimpa dirinya, sedangkan seorang pendosa menganggap dosanya seperti seekor lalat yang menclok di hidungnya, cukup diusir dengan tangannya.” (Bukhari-Muslim).

Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata : “Jangan kamu memandang kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa itu”

Ketiga, jika dilakukan dengan bangga atau minta dipuji,

Seperti seseorang yang mengatakan : “Lihat, bagaimana hebatnya saya mempermalukan orang itu di depan umum!?” Atau seperti ucapan seorang pedagang : “Lihat, bagaimana saya bisa menipu pembeli itu!?”

Keempat, jika seseorang melakukan dosa tanpa diketahui orang lain lalu ia menceritakannya dengan bangga kepada orang lain.

Rasulullah saw bersabda : “Setiap ummatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan berlaku dosa. Dan diantara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika seseorang berdosa di malam hari sementara Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata : “Hai Fulan, semalam aku melakukan ini dan itu.” (Bukhari-Muslim).

Kelima, jika yang melakukannya seorang alim yang menjadi panutan.

Karena apa yang ia lakukan dicontoh oleh orang lain. Ketika ia melakukan dosa, maka ia juga mendapatkan dosa orang yang mencontohnya. Rasulullah bersabda : “…dan barang siapa memberi contoh keburukan dalam Islam maka baginya dosa perbuatan itu dan juga dosa orang yang mencontohnya setelah itu tanpa dikurangi sedikitpun dosa itu dari pelakunya.” (Muslim).

Jangan Menunda-Nunda Taubat

Bersegera bertaubat hanya dilakukan oleh mereka yang berakal sehat. Orang-orang yang menunda taubat ibarat seseorang yang ingin mencabut pohon yang mengganggu, namun karena merasa sulit mencabutnya ia menundanya hingga esok atau lusa, atau minggu depan, atau … tanpa ia sadari bahwa semakin hari akar pohon itu makin menghunjam di tanah, sedangkan ia semakin tua dan lemah.

Jangan menunda-nunda taubat karena mengandalkan rahmat dan ampunan Allah swt. Orang seperti itu ibarat seorang laki-laki yang menghabiskan seluruh hartanya dengan sia-sia dan meninggalkan keluarganya dalam kefakiran, lalu ia mengharapkan harta karun datang kepadanya tanpa bekerja. Mungkin harta karun itu ada, tapi orang ini jelas kurang sehat akalnya.

Mengapa kita dapat berpikir logis dalam masalah keduniaan namun tidak demikian dalam urusan akhirat? Allahu a’lam


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/bersegeralah-bertaubat/

 “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (Al-Bukhari)

Indahnya nikmat keimanan. Hati yang semula gelap menjadi terang. Bahaya dan penyakit di sekitar diri yang sebelumnya tertutupi, bisa terlihat jelas. Kian tampak mana yang baik, dan yang buruk. Dalam hal apa pun. Termasuk, dalam pergaulan dan persaudaraan Islam.

Tak ada manusia yang serba sempurna


Saat ini tak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Selalu saja ada kekurangan. Boleh jadi ada yang bagus dalam rupa, tapi ada kekurangan dalam gaya bicara. Bagus dalam penguasaan ilmu, tapi tidak mampu menguasai emosi kalau ada singgungan. Kuat di satu sisi, tapi rentan di sudut yang lain.

Dari situlah seorang mukmin mesti cermat mengukur timbangan penilaian terhadap seseorang. Apa kekurangan dan kesalahannya. Kenapa bisa begitu. Dan seterusnya. Seperti apa pun orang yang sedang dinilai, keadilan tak boleh dilupakan. Walaupun terhadap orang yang tidak disukai. Yakinlah kalau di balik keburukan sifat seorang mukmin, pasti ada kebaikan di sisi yang lain. Tidak boleh main ‘pukul rata’: “Ah, orang seperti itu memang tidak pernah baik!”


Allah swt. meminta orang-orang beriman agar senantiasa bersikap adil. Firman-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah; menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dari timbangan yang adil itulah, penilaian jadi proporsional. Tidak serta-merta mencap bahwa orang itu pasti salah. Mungkin, ada sebab yang membuat ia lalai, lengah, dan kehilangan kendali. Bahkan boleh jadi, jika pada posisi dan situasi yang sama, kita pun tidak lebih bagus dari orang yang kita nilai.

Kekurangan diri seorang mukmin merupakan ujian mukmin yang lain

Sesama mukmin seperti satu tubuh. Ada keterkaitan yang begitu kuat. Sakit di salah satu bagian tubuh, berarti sakit pula di bagian yang lain. Cela pada diri seorang mukmin, berarti cela pula buat mukmin yang lain.

Setidaknya, ada dua ujian buat seorang mukmin ketika saudaranya tersangkut aib. Pertama, kesabaran untuk menanggung keburukan secara bersama. Siapa lagi yang layak memberi kritik dan arahan kalau bukan saudara sesama mukmin. Karena dialah yang lebih paham seperti apa daya tahan keimanan saudaranya sesama mukmin. Sabar untuk senantiasa menegur, mendekati, dan memberi solusi.

Kedua, kesabaran untuk tidak mengabarkan keburukan saudaranya kepada orang lain. Ini memang sulit. Karena lidah kerap usil. Selalu saja tergelitik untuk menyampaikan isu-isu baru yang menarik. Tapi sayangnya, sesuatu yang menarik buat orang lain kadang buruk buat objek yang dibicarakan. Di situlah ujian seorang mukmin untuk mampu memilih dan memilah. Mana yang perlu dikabarkan, dan mana yang tidak.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain.” (Al-Bukhari)

Tataplah kekurangan diri sebelum menilai kekurangan orang lain

Ego manusia selalu mengatakan kalau ‘sayalah yang selalu baik. Dan yang lain buruk’. Dominasi ego seperti inilah yang kerap membuat timbangan penilaian jadi tidak adil. Kesalahan dan kekurangan orang lain begitu jelas, tapi kekurangan diri tak pernah terlihat. Padahal, kalau saja bukan karena anugerah Allah berupa tertutupnya aib diri, tentu orang lain pun akan secara jelas menemukan aib kita.

Sebelum memberi reaksi terhadap aib orang lain, lihatlah secara jernih seperti apa mutu diri sendiri. Lebih baikkah? Atau, jangan-jangan lebih buruk. Dari situlah ucapan syukur dan istighfar mengalir dari hati yang paling dalam. Syukur kalau diri ternyata lebih baik. Dan istighfar jika terlihat bahwa diri sendiri lebih buruk.

Tatap aib saudara mukmin lain dengan pandangan baik sangka. Mungkin ia terpaksa. Mungkin itulah pilihan buruk dari sekian yang terburuk. Mungkin langkah dia jauh lebih baik dari kita, jika berada pada situasi dan kondisi yang sama.

Membuka aib seorang mukmin berarti memperlihatkan aib sendiri

Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan yang jauh lebih sakral ketimbang satu ayah dan satu ibu. Karena Allah sendiri yang menyatakan kekuatan persaudaraan itu: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara….” (Al-Hujurat: 10)

Ketika seorang mukmin membuka dan menyebarkan aib saudaranya, ada dua kesalahan yang dilakukan sekaligus. Pertama, ada citra keagungan orang-orang beriman yang terkotori. Dan reaksi yang muncul memojokkan umat Islam, “Yah, sama saja. Keimanan tidak bisa jadi jaminan!” Dan seterusnya.

Kedua, orang yang gemar menyebarkan aib saudaranya, sebenarnya tanpa sadar sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli. Antara lain, tidak bisa memegang rahasia, lemah kesetiakawanan, dan penyebar berita bohong. Semakin banyak aib yang ia sebarkan, kian jelas keburukan diri si penyebar.

Benar apa yang dinasihatkan Rasulullah saw. bahwa diam adalah pilihan terbaik ketika tidak ada bahan ucapan yang baik. Simpanlah aib seorang teman dan saudara sesama mukmin, karena dengan begitu; kelak, Allah swt., akan menutup aib kita di hadapan manusia.


Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/bercermin-dengan-aib-sendiri/
 

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka. [QS. Al-Isra' (17): 23]

‘Uquuqul walidain (durhaka kepada orang tua) adalah dosa besar. Karena itu, Rasulullah saw. –seperti yang dikutip oleh Ibnu Al-Atsir dalam kitabnya An-Nihaayah—melarang perbuatan durhaka kepada kedua orang tua.

Seseorang dikatakan ‘aqqa waalidahu, ya’uqquhu ‘uqaaqan, fahuwa ‘aaqun jika telah menyakiti hati orang tuanya, mendurhakainya, dan telah keluar darinya. Kata ini merupakan lawan dari kata al-birru bihi (berbakti kepadanya).

Kata al-’uquuq (durhaka) berasal dari kata al-’aqq yang berarti asy-syaq (mematahkan) dan al-qath’u (memotong). Jadi, seorang anak dikatakan telah durhaka kepada orang tuanya jika dia tidak patuh dan tidak berbuat baik kepadanya, atau dalam bahasa Arab disebut al-’aaq (anak yang durhaka). Jamak dari kata al-’aaq adalah al-‘aqaqah. Berdasarkan pemaknaan ini, maka rambut yang keluar dari kepala seorang bayi yang baru lahir dari perut ibunya dinamakan dengan aqiiqah, karena rambut itu akan dipotong.

Yang dimaksud dengan al-’uquuq (durhaka) adalah mematahkan “tongkat” ketaatan dan “memotong” (memutus) tali hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya.

Jadi, yang dimaksud dengan perbuatan durhaka kepada kedua orang tua adalah mematahkan “tongkat” ketaatan kepada keduanya, memutuskan tali hubungan yang terjalin antara orang tua dengan anaknya, meninggalkan sesuatu yang disukai keduanya, dan tidak menaati apa yang diperintahkan atau diminta oleh mereka berdua.

Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba, itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah itu sampai kedua orang tuanya ridha.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim, (kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.” Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”

Oleh karena itu ketika ada seseorang yang memaparkan kepada Rasulullah saw. tentang perbuatan-perbuatan ketaatan (perbuatan-perbuatan baik) yang telah dilakukannya, maka Rasulullah saw. pun memberikan jawaban yang sempurna yang dikaitkan dengan satu syarat, yaitu jika orang itu tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Murah Al-Juhani r.a. bahwa dia berkata, “Seorang lelaki pernah mendatangi Nabi saw. kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang haq), kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah. Aku (juga) telah melaksanakan shalat lima (waktu), menunaikan zakat dari hartaku, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.’ Nabi menjawab, ‘Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan (seperti) ini, maka dia akan bersama para nabi, shiddiqiin, dan syuhada pada hari Kiamat nanti seperti ini –beliau memberi isyarat dengan dua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah)—sepanjang dia tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.’”

Hadits-hadits Tentang Durhaka

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka!” Seseorang bertanya, “Siapa yang celaka, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Barangsiapa yang sempat bertemu dengan kedua orang tuanya, tetapi dia tidak bisa masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).”

Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah r.a., dia berkata, Nabi saw. pernah naik ke atas mimbar, kemudian dia mengucapkan, “Amin, amin, amin.” Lalu beliau bersabda, “Jibril a.s. telah mendatangiku, kemudian dia berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang sempat bertemu dengan salah satu dari kedua orang tuanya (dan tidak berbakti kepada mereka), kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’. Jibril kemudian berkata, ‘Wahai Muhammad, barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan (dan dia tidak berpuasa) kemudian meninggal dunia, maka Allah tidak mengampuninya, dimaksukkan ke neraka, dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku pun mengatakan ‘amin’.’ Jibril kemudian berkata, ‘Barangsiapa yang ketika disebutkan namamu di sisinya, tetapi dia tidak (membaca) shalawat kepadamu, kemudian dia meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka dan Allah akan menjauhkan dia dari (rahmat-Nya). Katakanlah (olehmu) ‘amin’, maka aku mengatakan ‘amin’.'”

Diriwayatkan dari Mughirah, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian perbuatan durhaka kepada ibu-ibu (kalian), menuntut sesuatu yang bukan hak (kalian), dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga telah membenci percakapan tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.”

Bukhari-Mualim meriwayatkan dari Abu Bakrah, dari bapaknya bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Maukan kalian jika aku beritahukan (kepada kalian) tentang dosa yang paling besar?’ Beliau mengucapkan sabdanya ini sebanyak tiga kali. Kami menjawab, ‘Mau, ya Rasulullah.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.’ Saat itu beliau sedang bersandar, kemudian beliau duduk, lalu bersabda, ‘Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu. Ketahuilah, (juga) kata-kata palsu dan kesaksian palsu.’ Beliau terus mengatakan hal itu sampai aku berkata, beliau (hampir saja) tidak diam.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Angin surga akan dihembuskan dari jarak lima ratus tahun dan tidaklah akan mencium bau surga itu orang yang suka menyebut-nyebut amal perbuatannya, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan orang yang kecanduan khamr.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa dia bersabda, Rasulullah saw. bersabda, “(Ada) tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari Kiamat: orang yang durhaka kepada kedua orang tuannya, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya.”

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda, “Di antara dosa yang paling besar adalah (apabila) seorang anak melaknat kedua orang tuanya.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang anak melaknat kedua orang tuannya?” Rasulullah saw. menjawab, “(Apabila) anak mencaci ayah orang lain, maka berarti dia mencaci ayahnya (sendiri), dan dia mencaci ibu orang lain, maka berarti dia telah mencaci ibunya (sendiri).”

Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. bahwa dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah dianggap berbakti kepada sang ayah jika seseorang menajamkan pandangan (matanya) kepada ayahnya itu karena ia marah (kepadanya).’”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bersabda beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. tidak menyukai perbuatan durhaka (kepada kedua orang tua).”

Diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap dosa akan Allah tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena) durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar r.a., dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda, “Keridhaan Allah itu ada pada keridhaan kedua orang tua, dan kemurkaan-Nya ada pada kemarahan kedua orang tua.”

Bentuk-bentuk Perbuatan Durhaka

1. Tidak memberikan nafkah kepada orang tua bila mereka membutuhkan.

2. Tidak melayani mereka dan berpaling darinya. Lebih durhaka lagi bila menyuruh orang tua melayani dirinya.

3. Mengumpat kedua orang tuanya di depan orang banyak dan menyebut-nyebut kekurangannya.

4. Mencaci dan melaknat kedua orang tuanya.

5. Menajamkan tatapan mata kepada kedua orang tua ketika marah atau kesal kepada mereka berdua karena suatu hal.

6. Membuat kedua orang tua bersedih dengan melakukan sesuatu hal, meskipun sang anak berhak untuk melakukannya. Tapi ingat, hak kedua orang tua atas diri si anak lebih besar daripada hak si anak.

7. Malu mengakui kedua orang tuanya di hadapan orang banyak karena keadaan kedua orang tuanya yang miskin, berpenampilan kampungan, tidak berilmu, cacat, atau alasan lainnya.

8. Enggan berdiri untuk menghormati orang tua dan mencium tangannya.

9. Duduk mendahului orang tuanya dan berbicara tanpa meminta izin saat memimpin majelis di mana orang tuanya hadir di majelis itu. Ini sikap sombong dan takabur yang membuat orang tua terlecehkan dan marah.

10. Mengatakan “ah” kepada orang tua dan mengeraskan suara di hadapan mereka ketika berselisih.

Penutup

Rasulullah saw. berpesan, “Berbaktilah (kalian semua) kepada bapak-bapak kalian, (niscaya) anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.”

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/durhaka-kepada-orang-tua/
 

Setiap orang pasti menginginkan agar Allah mencintainya. Setiap orang berharap kasih Allah menyentuh sanubarinya. Cinta Allah senantiasa didamba, dirindu, dinanti dan ditunggu oleh orang-orang beriman di setiap hentakan nafas dan jejak jiwa mereka. Karena cinta Allah adalah segalanya bagi mereka. Bahkan cinta Allah itu lebih mereka harap dan rindu daripada surga,

Namun siapakah manusia yang akan mendapatkan limpahan cinta Allah? Siapa manusia yang akan merengkuh cinta Allah yang langsung mendapatkan jaminan dari firman-firman-Nya?

Bertaburan firman Allah dalam Al-Quran yang mengabarkan siapa saja manusia-manusia yang Dia cinta. Demikian pula dalam hadits-hadits Rasulullah yang mulia.

Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik dan kebajikan. Allah mencintai para pelaku ihsan (muhsinin) karena ihsan adalah jantung dan keimanan, ruh dan kesempurnaannya. Dia adalah puncak level agama dan merupakan setinggi-tingg akhlak kaum salihin. Di dalamnya terhimpun semua pesona akhlak seorang hamba, di dalamnya terangkum semua cahaya etika seorang abdi. Para muhsinin yang Allah cinta adalah mereka yang menunaikan ibadah mereka dengan penuh kerendahan hati dan dalam tingkat yang paling sempurna, sepi dan kosong dari riya dan pamer yang sering banyak membelit dan mencelakakan para pelaku ibadah.

Mereka adalah orang yang dalam dadanya dipenuhi keimanan kepada Allah secara sempurna, beribadah tanpa pamrih, mengabdi tiada henti. Tangannya demikian ringan melepaskan kebaikan, organ tubuhnya tertutup dari dosa-dosa yang menghancurkan.

وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله يحب المحسنين

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (Al-Baqarah : 195).

Dari tangan mereka mengalir kebaikan, dalam benak mereka terancang kebajikan. Maka Allah mencintai mereka sebagai imbalan atas kebaikan-kebaikan mereka. Karena Allah adalah Dzat Yang Muhsin (Maha Baik) dan ci mencitai kebaikan..

إن الله محسن يحب الإحسان

Sesungguhnya Allah itu Muhsin dan sangat mencinta orang-orang yag berbuat kebaikan (Shahih Al-Jami' al-Shaghir : 1834).

Dalam diri seorang yang muhsin kebaikan demikian berlimpah, kemarahan sangat minim adanya, keangkuhan tidak mendapatkan tempatnya, ketamakan menemukan kuburannya. Kedengkian tak lagi bisa bersemi indah. Kezhaliman tergantikan keadilan. Maaf menjadi mahkota hidupnya, jujur menyinari lorong-lorong sejarahnya. Amanah lekat pada dinding-dinding jiwanya. Pribadinya demikian indah. Dengan dimensi keindahan yang tiada tara. Wajar jika Sang Maha Kasih mencintainya.

Orang-orang bertakwa juga teraliri cinta Allah. Orang-orang bertakwa adalah manusia-manusia siaga untuk menerima perintah Allah dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya. Hatinya adalah hati yang hidup yang bergetar manakalanama Allah bergema, bulu romanya berdiri manakala ayat-ayat Allah menyusupi jiwanya. Orang-orang bertakwa menurut Sayyidina Ali adalah mereka yang takut pada yang kuasa (khaifuuna min al-Jalil) yang mengamalkan aturan-aturan Al-Quran (al-'Amiluna bi al-Tanzil), yang rela dengan apa yang ada (Qani'una bi al-Qalil) dan yang senantiasa siaga untuk sebuah perjalanan yang pasti (al-Musta'idduna li Yaum al-Rahil). Orang-orang bertakwa senantiasa menatap surga dengan mata hatinya dan menghindari neraka dengan emosi rasa takutnya kepada Allah. Jiwanya berselimutkan harap pada Allah. Sebagaimana kata Ubay bin Ka'ab kepada Umar mengenai takwa itu : Tidakkah engkau pernah melewati jalanan yang penuh onak dan duri? Umar berkata : Ya! Lalu apa yang kamu lakukan? Kata Ubay. Aku berjalan berjingkat dan aku berusaha menghindarinya! Itulah takwa, jelas Ubay.

Orang yang bertakwa senantiasa siaga setiap waktu dan saat.Siaga diperintah Allah dan siaga pula untuk menghadap-Nya. Maka merekapun mendapatkan jaminan surga. Sebagaimana Allah firmankan :

إن المتقين في جنات ونهر. في مقعد صدق عند مليك مقتدر

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa (Al-Qamar : 54-55).

Ketakwaan itu bersarang di dada seorang hamba dan hanya Allah yang tahu kadarnya. Takwa dalam hati seorang hamba dan akan terpantulkan dalam kehidupan manusia setiap harinya.

Orang-orang yang bertawakkal juga mendapat porsi cinta yang sama dari Allah. Mereka mendapatkan cinta Allah karena orang-orang yang tawakal akan senantiasa menampakkan ketidakberdayaannya di depan Sang Maha Digdaya, dan dia hanya menggantungkan diri hanya pada-Nya. Dia sangat mengerti tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengerti tentang sebab akibat, hatinya berakar kokoh dalam pohon tauhid. Menyerah diri pada Allah. Ridha dengan semua kehendak-Nya. Tawakkal adalah stasiun orang-orang yang senantiasa mendekat kepada Allah (muqarrabin). Seluruh perkaranya dia serahkan kepada Allah dan sennatiasa menapak tilasi sunnah-sunnah Rasul-Nya dengan mengembil sebab-sebab yang mengantarkannya mendekat kepada Allah.

Allah menyukai dan mencintai mereka. Karena mereka begitu merendah di hadapan kekuasaan-Nya, sering merintih di hadapan kasih saying-Nya. Proposal-proposal proyek hidupnya dia ajukan hanya pada-Nya. Dia sangat yakin bahwa Yang Maha Kuasa tidak akan pernah menampik kebutuhannya.

Allah berfirman menegani mereka :

فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (Ali Imran : 195).

Allah juga mencintai orang-orang yang sabar. Dia sabar menghadapi ujian dunia, sabar menghadapi kepedihan-kepedihan, sabar dalam berjihad, sabar dalam sulitnya ibadah, sabar dalam meninggalkan maksiat dan menantang syahwat, dan memusuhi hawa nafsunya dan anti gerakan syetan.

Saat sakit yang muncul adalah sifat sabarnya, saat dicela kesabarannya memancar dari aksinya, musibah tak mengganggu kesalehannya. Ucapannya yang terlontar saat mendapatkan musibah : Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'uun.

Kesabaran juga terpancar saat melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar untuk mencapai puncak posisi terbaik di sisi-Nya.

Allah berfirman :

وكأين من نبي قاتل معه ربيون كثير فما وهنوا لما أصابهم في سبيل الله وما ضعفوا وما استكانوا والله يحب الصابرين

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran : 146).

Di samping itu Allah juga mencintai orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak Rasul-Nya, mereka yang berperang dengan ikhlas di jalan Allah, orang-orang yang rendah hati di hadapan orang-orang beriman dan punya harga diri di hadapan orang-orang kafir.

Orang-orang yang adil termasuk manusia yang Allah cinta (Al-Maidah : 42). Demikian pula dengan orang-orang yang intens bertaubat dan senantiasa menyucikan jiwa dan raganya dari dosa-dosa (Al-Baqarah : 222)

Suka cinta orang-orang yang sering melakukan amalan-amalan nawafil sebagai usaha memperbanyak tabungan akhiratnya setelah dia dengan penuh semangat dan vitalitas menunaikan hal-hal yang fardhu. Salat-salat sunnah menjadi ritme hidupnya, puasa-puasa sunnah menghiasi jejak langkahnya.

Manusia yang Allah cintai adalah manusia yang paling bermamfaat pada manusia lainnya. Dia pemurah pada sesama muslim saudaranya, ramah pada tetangga-tetangganya, empati pada penderitaan orang lain, simpati pada orang-orang tidak berdaya. Agenda hidupnya adalah : berguna bagi sesama.

Rasulullah menyatakan dengan sangat gamblang bahwa hamba yang paling Allah suka adalah manusia yang paling baik akhlaknya.

أحب عباد الله إلى الله أحسنهم خلقا

Hamba yang paling Allah suka di sisi-Nya adalah yang terbaik akhlaknya (Shahih al-Jami' al-Shaghir : 179).

Mukmin yang kuat termasuk yang Allah pandang lebih baikdan lebih Allah cintai daripada orang seorang mukmin yang lemah. Para penghidup malam dengan ibadah termasuk yang Allah cinta.

Masih banyak lagi manusia-manusia yang sangat mungkin mendapat limpahan kasih dan cinta Allah. Dan setiap kita memiliki kesempatan yang sama. Kita membutuhkan semangat ekstra untuk memburu cinta-Nya karena cinta-Nya tidak diberikan gratis kepada kita.

 Iman itu bukan hiasan bibir dan pemanis kata apalagi sekedar keyakinan hampa. Tapi sebuah keyakinan yang menghunjam dalam hati, diungkapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan tindak nyata. Pengakuan seorang mukmin akan keimanannya yang tidak disertai dengan bukti amal shaleh, bisa dikategorikan sebagai pengakuan tanpa makna dan tidak berdasar. Di sini Allah swt. menjelaskan kepada kita tentang senyawa keimanan dan amal shaleh dalam surat Al-‘Ashr;

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati agar mentaati kebenaran dan nasehat menasehati agar tetap sabar.” QS 103:1-3

Ayat-ayat quraniah tentang hal ini banyak sekali, bahkan setiap “khitab ilahi” (panggilan Allah) yang ditujukan kepada mukminin selalu disertai dengan perintah untuk mengerjakan amal saleh yang berkaitan dengan ibadah dan larangan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah swt.

Iman yang menshibghah -mewarnai- akal, hati dan jasad seorang mukmin niscaya ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan maka pilihannya itu sudah pasti jatuh pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ia senantiasa memutuskan sesuatu dengan haq dan menghindari hal-hal yang menjurus kepada kebatilan. Jadi seorang yang telah tershibghah imannya, ia akan menjadi cahaya bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Allah berfirman;

“Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian ia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat ke luar dari padanya?…” QS 6:122

Demikianlah Allah menghidupkan manusia dengan cahaya Islam dan keilmuan. Sehingga hal itu memberikan manfaat dan kontribusi riel tidak saja bagi lingkungannya bahkan sampai pada peradaban dunia.

Rasulullah saw. menganalogikan seorang mukmin yang benar-benar memahami keislaman dan keimanannya seperti lebah. Lebah itu mempunyai sifat tidak pernah melakukan kerusakan, lihatlah ketika hinggap di dahan-dahan pepohonan atau tangkai-tangkai bunga. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang terbaik yaitu sari bunga. Dan menghasilkan sesuatu yang paling bermanfaat yaitu madu. Maka makhluk hidup yang berada di sekitarnya merasa aman dan nyaman.

Begitulah seharusnya muslim dan mukmin, dia harus mampu menebar pesona Islam. Melukiskan tinta emas kebaikan dalam kanvas kehidupan secara individu dalam semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan inilah yang seharusnya dimiliki sertiap mukmin. Kepekaan terhadap apa saja yang sedang menimpa masyarakat harus menjadi bagian kehidupannya. Jangan berpuas diri dengan urusannya sendiri tanpa memperhatikan dan mempedulikan masyarakat sekitarnya.

Interaksi Sosial

Lezatnya iman apabila sudah mampu dirasakan oleh seorang mukmin dalam ruang kepribadiannya, maka akan menjelma menjadi pesona sosial yang sangat menawan. Khusyuk diri yang dimiliki seorang mukmin akan berdampak pada ‘atha ijtima’i (kontribusi sosial) dan keharmonisan social. Di sini, Nabi kita Muhammad saw. mengajarkan kepada kita dengan tiga kalimat yang sarat dengan nilai-nilai perbaikan diri. Di saat beliau bersabda; “Takwalah kamu di manapun kamu berada, ikuti keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya dan berinteraksilah pada manusia dengan akhlak yang hasan.”

Dan salah satu bentuk interaksi kita pada lingkungan sekitar kita adalah adanya hasaasiah (kepekaan) yang kuat terhadap permasalahan yang terjadi di dalamnya. Perhatian dan fokus kita terhadap bi’ah (lingkungan), baik yang berkaitan dengan lingkungan dakwah, lingkungan sosial, lingkungan pengajaran yang terjadi dalam tataran keluarga maupun masyarakat adalah cerminan kuat dari keimanan kita yang telah tershibghah dengan nilai-nilai kebenaran Islam. Bagaimana Rasulullah saw. melakukan hal ini dalam keluarga dan masyarakatnya. Beliau dengan gigih telah mempengaruhi pamannya, Abu Thalib untuk memeluk Islam sehingga detik-detik akhir hidup sang paman. Ia telah menyeru bani-bani Quraisy pada waktu itu seraya berkata di atas bukit shofa: “Wahai Bani Quraisy, selamatkanlah dirimu dari api neraka, wahai Bani ka’ab, selamatkanlah dirimu dari apai neraka….., wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka..” Imam Muslim.

Begitu juga, beliau telah terlibat langsung dalam peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masyarakatnya sebelum nubuwwah -masa Kenabian- seperti berperan aktif dalam perang fijar; peperangan yang terjadi antara Quraisy bersama Kinanah dengan Ais Qailan, Hilful Fudlul; kesepakatan untuk melindungi orang-orang yang terdhalimi dan pembangunan Ka’bah.

Sensitifitas Tinggi

Oleh karenanya seorang mukmin apalagi kader dakwah harus terlibat aktif dalam amal-amal kebaikan yang terjadi di lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Baik yang bersentuhan dengan daur da’awi (peran dakwah keluarga), daur ta’limi (peran pengajaran) dan daur tarbawi (peran pembinaan). Janganlah seorang kader yang sibuk dengan perbaikan dirinya, akan tetapi mengabaikan dakwah keluarganya. Semangat berbisnis, lalu lupa mengajar dan membina anak-anaknya. Puas dengan kehebatannya, asyik dengan pesona dirinya, akan tetapi terlena dengan apa yang sedang terjadi di lingkungan keluarga. Bapak asyik dengan dakwah di luar, sementara anak nyimeng dan ngeganja. Coba kita perhatikan dan merenungkan kembali kembali firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” 64:14-15

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” 63:9

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada

mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” 66:6

Kepedulian Sosial

Interaksi sosial kita yang berujung pada kepedulian sosial, mengharuskan kita untuk terlibat penuh dengan suatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Hal ini bukan hanya dilakukan seorang mukmin atau bahkan kader dakwah di saat membutuhkan mereka dan ketika ada kepentingan. Akan tetapi kapanpun dan kondisi apapun seorang mukmin harus menebar pesona Islam. Ia bekerja dan berkarya sesuai arahan Rabbani. Seluruh waktu dan hidupnya agar bermanfat bagi manusia lain. Ia ingin menjadi salah satu dari kategori qaumun ‘amaliyyun -kaum yang aktif bekerja- dan mendambakan identitas mukminiin haqqan -mukmin sejati-.

Oleh karenanya, seorang mukmin harus bisa berperan aktif dalam seluruh dimensi sosial. Baik dimensi da’awi yang mengharuskan dia sebagai cahaya di tengah masyarakatnya, yang mengharuskan dia membawa obor tanggungjawab amar ma’ruf nahi munkar dan sebagai agen of changes. Dimensi ukhawi; yang mengharuskan dirinya mengkristalkan kembali makna ta’aruf, tafaahum dan takaaful dalam kanvas ukhuwah Islamiah. Benar-benar menjadi kontributor dalam segala hal, apalagi yang bersentuhan langsung dengan fuqara, masakin dan al-aitam (yatim piatu). Rasulullah bersabda: “Ya Abu dzar, apabila kamu membikin sayur, perbanyak kuahnya dan perhatikan tetanggamu.” Imam Muslim

“Tidaklah beriman seorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Muttafaqun Alaih

“Saya dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan dengan kedekatan jari telunjuk dan tengah) Imam Al-Bukhari

Dan dimensi ta’limi wa tarbawi -pengajaran dan pengkaderan-; yang mengharuskannya berperan aktif dalam melakukan pengajaran dan pembinaan masyarakatnya. Sehingga masyarakat setempat menikmati pencerahan jiwa dan pemikiran. Mereka semakin dekat dengan nilai-nilai Islam dan akhirnya semangat mengimplementasikannya dalam ruang kepribadiannya dan lingkungan keluarganya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” 3:104

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” 62:2

Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan peduli sosial, dilandasi iman yang hidup dan produktif dalam diri kita. Allahu a’lam

“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.” (Al-Maidah: 1)

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Segala perilakunya terjaga dari kekurangan dan keburukan. Sepak terjangnya memberi manfaat buat lingkungan sekitarnya. Pepohonan hijau lestari dalam kekuasaannya. Hewan-hewan tak terzalimi dengan tangan-tangan mukmin itu. Dan manusia sekitar merasa senang dengan kehadirannya.

Siapapun, yang di langit dan di bumi, akan menaruh simpati pada seorang mukmin sejati. Hampir tak satu pun buah amal yang dihasilkan muncul sia-sia. Tak ada yang mentah bergetah. Dan tak ada yang busuk berbau. Ucapannya begitu menyejukkan telinga yang mendengar. Dan janjinya begitu terpelihara.

Betapa beraninya seorang manusia yang mengobral janji. Seolah, tak pernah ada pertanggungjawaban dari janji yang ia sebar. Padahal, tak satu pun janji yang keluar dari lisan seorang kecuali sebuah utang yang harus dibayar. Seberapa besar dan sekecil apa pun, janji akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt.

Sungguh mulia baginda Rasulullah saw yang terkenal dengan sifat Al-Amin. Siapa pun yang pernah bergaul dengan beliau akan merasa puas, aman, dan hormat. Tak sekali pun Rasul mulia itu berdusta, walau dalam canda. Tak pernah terucap janji dari lisan beliau kecuali tertunaikan dengan sempurna. Tak ada satu amanah pun terpikul di pundak beliau, melainkan terlaksana memuaskan. Semuanya bergulir lancar, tanpa cacat.

Tak sedikit manusia yang lupa, lalai. Kesibukan duniawi telah menelantarkan seribu satu janji yang pernah terucap. Badai ambisi dan obsesi telah menenggelamkan semua kerikil janji: besar dan kecil. Kasih sayang Allalah yang telah menghidupkan kesadaran hamba Allah akan janji-janji mereka.

Betapa banyak janji yang telah terucap dari mulut seorang manusia. Ada janji-janji pasti yang terikrar sejalan dengan rute hidup yang telah ditempuh seorang anak Adam: janji pada Allah, jamaah dan dakwah, janji sebagai seorang yang mengemban amanah, sebagai suami atau isteri, sebagai orang tua kepada anak-anak, dan sebagai anggota masyarakat. Ada juga janji-janji lain yang lahir bersamaan dengan pergaulan sesama manusia.

1. Janji pada Allah

Sudahkah kita tunaikan janji kita pada Allah swt. Ucapan dua persaksian seorang mukmin kepada Allah dan Rasul adalah janji. Bahwa, tidak ada ilah selain Allah. Dan Muhammad sebagai utusan Allah.

Benarkah persaksian sakral itu telah kita jaga dengan seluruh kesungguhan. Masihkah kita menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita takuti selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita cintai selain Allah. Adakah hal lain yang lebih kita ikuti aturannya selain aturan Allah swt. Sudahkah kita letakkan sosok teladan bagi diri kita pada Rasulullah saw. Atau, ada idola-idola lain yang dengan penuh keridhaan tertancap kuat dalam hati kita yang paling dalam. Benarkah ungkapan cinta dan pengorbanan kita buat Allah dan RasulNya hanya sekadar hiasan bibir. Ungkapan yang sering terdengar, tapi berat dalam pembuktian.

Kita pun sering berucap janji lain pada Allah. Saat shalat, ada janji terucap. Tak kurang dari tujuh belas kali janji itu mengalir dari lidah kita. “Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan.”

Benarkah? Benarkah seluruh diri kita secara khusyuk tunduk dalam ibadah hanya pada Allah. Benarkah hati kita hadir dengan seluruh keikhlasan pada Allah. Hanya karena dan untuk Allah. Atau, masih ada bayang-bayang lain selain Allah. Bagaimana mungkin seorang hamba Allah bisa menuntut terkabulnya doa secara sempurna, sementara nilai ibadahnya hanya separuh. Sebagian buat Allah, dan sisanya tercecer ke hal-hal lain: ingin dibilang saleh, dipuji, dihormati.

2. Janji pada Jamaah dan Dakwah

Sebagian besar sahabat ada yang telah berjanji setia pada Rasulullah. Janji setia atau bai’ah itu menjadi pagar yang senantiasa menjaga kelurusan jalan dakwah yang mereka tempuh. Kala tarikan-tarikan kepentingan duniawi mulai menggiring mereka ke jalan lain, janji bai’ah itu menjadi ingatan.

Mungkin, ada di antara kita yang sudah berjanji setia untuk istiqamah dalam jalan dakwah. Sungguh, janji setia itu adalah utang. Kalau ia tertunaikan dengan baik, kebaikan itu akan berpulang pada pelaku itu sendiri. Dan jika terkhianati, buruknya pengkhianatan itu pun akan berbalik pada sang pelaku. Semoga, Allah menjauhi kita dari jalan tempuh yang kedua itu.

Allah swt mengabadikan peristiwa bai’ah nan penuh makna itu dalam surah Al-Fath ayat 10. “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janji maka akibat pelanggaran itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

3. Janji pada Isteri

Berhati-hatilah buat mereka yang sudah menikah. Secara sadar dan disaksikan orang banyak, para suami telah menyatakan sebuah janji. Bahwa, mereka akan mempergauli isteri-isteri mereka dengan cara yang baik. Dan tidak akan lalai dari pemberian nafkah kepada isteri, baik yang lahir maupun batin.

Itulah janji pada isteri. Suatu saat, Allah swt yang juga diatasnamakan dalam janji itu akan minta pertanggungjawaban para suami. Sudahkah para suami menepati janji itu. Adakah ucapan itu benar-benar janji yang bermakna tinggi. Atau, hanya sekadar basa-basi formalitas. Dan akan terlupakan dalam hiruk-pikuk rutinitas kehidupan berumah tangga.

Pada saatnya, nilai janji seorang suami menjadi luntur dengan gerusan romantisme cinta sesaat. Itulah mungkin, kenapa ada seorang suami yang tega-teganya menelantarkan tanggungjawab sebagai suami hanya karena kebutuhan sesaat. Semoga Allah swt senantiasa menguatkan hati hamba-hamba Allah yang amanah dengan isterinya.

4. Janji pada Anak

Seringkali, seorang ayah atau ibu memberikan janji karena ingin mengalihkan perhatian anak. Mereka tidak sadar, kalau semua ucapan janji itu terekam kuat oleh anak. Ada anak yang berani menuntut. Tapi, tidak sedikit anak yang memendam kecewa. Suatu yang oleh orang tua remeh, padahal buat anak teramat besar.

Dari situlah, anak-anak belajar tentang janji. Seberapa suci dan tingginya sebuah janji sangat bergantung pada kepentingan. Anak-anak menyimpulkan bahwa janji hanya permainan. Bisa ditepati, bisa juga tidak. Tergantung pada kepentingan yang berjanji. Jika kepentingannya sudah terpenuhi, janji tinggallah janji: hanya ucapan basa-basi. Kelak, anak-anak akan mewariskan tabiat buruk itu.

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu, mereka yang senantiasa menjaga amanah dan janji yang telah terutangkan. Maha Benar Allah dalam firmanNya pada surah Al-Fath ayat 10. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya… Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.”

 Keimanan yang kokoh menjadi perisai bagi setiap muslim. Dan hal ini hendaknya menjadi sebuah kelaziman. Sehingga keimanan itu betul-betul bak perisai kuat untuk menahan lajunya serangan musuh yang senantiasa datang silih berganti. Perisai ini wajib selalu berada di tangan setiap muslim. Ia tak boleh lepas sekejappun. Apalagi hilang, tak berketentuan arah.

Keimanan yang diumpamakan perisai itu berawal dari kekuatan tauhid yang tertanam dalam sanubarinya. Tauhid yang kuat dan bersih dari berbagai penyimpang. Ia diasaskan dari kalimat yang baik (kalimatun thayyibah) yang terikat dalam jiwanya. Kalimat yang baik dari kekuatan tauhid ini lantaran persaksian dan komitmen loyalitasnya pada Sang Maha Perkasa.
‘Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25).

Pohon ini tiada duanya di muka bumi ini. Ia tumbuh subur dan berkembang pesat dan mampu melawan serangan hama dan penyakit. Sehingga ia menghasilkan buah yang tak pernah henti. Malah menumbuhkan pohon-pohon lainnya. Itulah pohon keimanan.

Disebut Syajaratul Iman (Pohon Keimanan) lantaran keimanan yang kokoh laksana sebuah pohon yang selalu memberikan manfaat yang amat banyak. Buahnya dapat dikonsumsi oleh setiap makhluk yang menginginkannya. Dahannya dapat menjadi sarang serta tempat bertengger burung-burung. Daunnya yang lebat menjadi tempat berteduh musafir yang lewat dan akarnya menyimpan persediaan air untuk bumi yang tandus. Inilah pohon keimanan yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah.

Beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah swt. menyerupakan pohon iman yang bersemi dalam hati dengan pohon yang baik. Akarnya menghunjam ke bumi dengan kokoh dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Pohon itu terus menerus mengeluarkan buah setiap musim. Jika engkau renungkan perumpamaan ini tentulah engkau menjumpainya cocok dengan pohon iman yang telah mengakar kokoh ke dalam di dalam hatinya. Sedang cabangnya berupa amal-amal shalih yang menjulang ke langit. Pohon itu terus menerus mengeluarkan hasilnya berupa amal shalih di setiap saat menurut kadar kekokohannya di dalam hati. Kecintaan, keikhlasan dalam beramal, pengetahuan tentang hakikat serta penjagaan hati terhadap hak-haknya.”

Di antara para ulama penafsir Al-Qur’an, mereka berpandangan bahwa yang dimaksud dengan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits riwayat Ibnu Umar r.a. Dalam kitab shahih Ar Rabi’ Ibnu Anas mengatakan bahwa orang mukmin itu pokok amalnya menghunjam ke bumi sedang buah amalnya menuju langit lantaran keikhlasannya dalam beramal. Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidak ada perbedaan di antara ke dua pendapat itu karena makna yang dimaksud tamsil ini adalah sosok orang mukmin sejati. Sedang pohon kurma adalah sebagai gambaran yang menyerupainya dan dari diri orang mukminlah sebagai sosok yang diserupakannya.”

Pohon-pohon keimanan ini tumbuh dan berkembang bahkan menumbuhkan pohon lainnya. Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid dalam kitabnya Ar Raqa’iq menggambarkan bahwa pohon-pohon itu bak laksana kumpulan tanaman taman nan indah. Setiap orang yang melihat pasti ingin berteduh di dalamnya. Setiap melihat buah mesti tangan ingin menjamahnya. Pokoknya taman itu amat menarik hati. Pohon-pohon yang tumbuh di taman nan menawan itu adalah:

1. Syajaratut Tha’ah (Pohon Ketaatan)

Dari tempat kamu berteduh di bawah pohon iman itu kamu dapat mencium aroma wewangian bunga yang semerbak di dekatnya. Itu bersumber dari sebuah pohon yang disebut sajaratut tha’ah, yakni pohon ketaatan. Ia menjadi saksi terhadap keridhaan Allah saat dilimpahkan di hari turunnya ayat berikut:

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18)

Orang yang berteduh di masa sekarang akan senantiasa mendapatkan ketenangan hati dan tidak mudah goyah karena faktor terhalangnya mendapatkan sesuatu atau tertinggal olehnya. Ia tetap tabah menunggu kemenangan yang akan diraihnya. Ia juga berada dalam arus gerakan Islam untuk selalu menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Ia setia dengan beban yang terpikul di pundaknya. Dengan sikap itu ia mampu meruntuhkan mercusuar kesesatan. Sedang ia telah menyatakan janji setia kepada Islam untuk mati sebagai tebusannya. Pohon ketaatan ini bersumber pada akar pengabdian yang utuh pada Sang Maha Pencipta. Sudah semestinya pohon ketaatan itu tumbuh subur di hati setiap muslim.

2. Syajaratut Tirhab (Pohon Penyambutan)

Pohon ini dinamakan pohon penyambutan. Ini untuk menyambut mereka-mereka yang sedang berjuang untuk mempertaruhkan hidupnya agar meraih kemuliaan di sisi Rabbnya. Jika Allah memilih untuk menimpakan musibah kepadamu sebagai jalan untuk meraih anugerah keridhaan-Nya. Dan kamu pun mengalami cobaan berat hingga memaksamu berlindung di bawah Syajaratut Tirhab, pohon penyambutan. Ini dilakukan untuk mencari ketenangan di bawah naungannya seraya menggerakkan pokoknya agar melimpahkan sebahagian dari berkahnya kepadamu. Dan engkau melakukan sikap sebagaimana yang dilakukan Ibunda Maryam a.s. Ketika bumi terasa sempit olehnya. Maka terdengarlah suara yang menyeru kepadanya:

“Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (Maryam: 25-26)

Maka engkau mendapat makan dari buahnya yang telah masak dengan rasa puas tanpa berlebihan. Di sana engkau beroleh minuman yang segar dari sungai kecil yang mengalir di hadapanmu dengan mencidukkan kedua tanganmu kepadanya tanpa harus bersusah payah. Pohon ini berdiri pada pokoknya yakni kecintaan untuk menghariba kepada Rabbul Izzati. Dengan penuh ketaqwaan dan keyakinan akan perjumpaannya. Bagi seorang muslim sejati mendekatkan diri untuk menghariba kepada Allah swt. menjadi keharusan. Agar ia senantiasa dalam kondisinya yang prima. Tidak lapar dan tidak pula kehausan. Ia dapat memenuhi hak dan kebutuhan hidupnya dalam memperjuangkan ajaran-Nya.

3. Syajaratul Wafa’ (Pohon Kesetiaan)

Kesetiaan adalah tanda kecintaan. Dan kecintaan merupakan prasyarat dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan kecintaannya. Nabi Muhammad saw. mempunyai tanaman sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits, bahwa banyak pohon yang menyaksikan beberapa peristiwa dari perjalanan hidupnya yang mulia. Sebagai isyarat yang menunjukkan adanya hubungan ini. Terkadang sebagai gambaran untuk menyadarkan orang yang lalai. Di antaranya adalah syajaratul wafa’, pohon kesetiaan. Sebagai tanda adanya komunikasi di antara ruh-ruh yang selalu ingat. Pohon ini dapat mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan kepada yang berhak menerimanya serta mengakui kebaikan yang diberikannya.

Ia adalah batang pohon kurma yang merintih saat ditingalkan. Jabir bin Abdullah r.a. meriwayatkan, “Dahulu ada sebatang pohon kurma yang digunakan oleh Nabi saw. untuk pijakan tempat berdirinya. Setelah dibuatkan mimbar untuk Nabi, kami mendengar dari batang kurma itu suara rintihan seperti rintihan unta yang sedang hamil besar. Hingga Nabi saw. turun dari mimbarnya lalu meletakkan tangannya pada batang itu barulah batang pohon itu diam.”

Batang pohon itu mengeluarkan suara rintihan seperti rintihan unta betina hamil besar. Peristiwa ini merupakan salah satu mukjizat Nabi saw. Sebatang pohon yang diberikan penghormatan kepadanya lalu ia membalasnya. Manakala ditinggalkan, ia merasa sedih sehingga kesedihannya itu melahirkan suara rintihan. Sekarang tiada seorangpun di antara kita melainkan di rumahnya terdapat kitab hadits. Seakan-akan Nabi saw. berdiri di hadapannya mengajarkan urusan agama dan mengajarinya hukum-hukum syariat Islam. Maka sudah selayaknya bagi manusia seperti kita berterima kasih dan membalasinya dengan ketaatan dan kesetiaan pada ajaran yang dibawanya.

Kita telah mendapatkan pelajaran yang amat bagus dari sebatang pohon kurma. Maka kita sebenarnya yang amat patut melakukan hal itu dan menterjemahkannya dalam sikap kita terhadap dakwah dan ajaran ini. Sepatutnya kita pun para muslim merintih karena tidak dapat berbuat banyak untuk memberikan kontribusi untuk kejayaan Islam sebagaimana orang-orang yang disebutkan Allah swt. dalam kitab-Nya. “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (At-Taubah: 92)

4. Syajaratut Tsabat (Pohon Keteguhan)

Keteguhan menjadi hal yang amat urgen dalam mengemban amanah mulia. Karena godaan dan rintangan akan selalu dating silih berganti. Karena itu bagi seorang muslim sejati ia amat memerlukan pohon keteguhan. Engkau dapat berlindung dibawahnya di hari manusia berpecah belah karena kecenderungannya yang berbeda-beda. Engkau mencari selamat dengan meninggalkan semua golongan yang berpecah belah itu. ‘Sekalipun engkau harus menggigit akar pohon (yakni berpegang teguh pada prinsip meskipun hidup menderita).”

Oleh karena itu berlindunglah pada pohon keteguhan ini untuk menggeraskan gigitannya. Seandainya engkau bayangkan keadaan yang sebenarnya tentulah hatimu menjadi ragu dan bergetar penuh kecemasan. Antara perasaan takut bila pegangannya mengendur lalu terbawa arus dan harapan untuk tetap bertahan demi mencapai keselamatan.

Akantetapi saripati cairan yang dikeluarkan oleh pohon itu membuat kamu segar karena mendapat minuman darinya. Sedang manusia saat itu menjulurkan lidahnya karena kehausan. Tenggorokanmu basah lagi sejuk, sehingga menambah keras gigitanmu terhadapnya, seakan-akan kamu menghisap keteguhan dan kekokohan darinya bagaikan bayi lapar yang sedang menyusu. Pohon keteguhan ini juga menjadi alat Bantu untuk menghadapi cobaan dan ujian komitmen dari berbagai rayuan dunia yang memikat. Dari pohon itu seorang muslim tidak akan goyah karena daya tarik material duniawi yang fana.

Ia tidak seperti orang-orang yang lalai dari kesetiaannya karena tergoda oleh ikan-ikan yang bermunculan pada saat mereka harus menunaikan komitmen itu. “Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Al-A’raf: 163)

5. Syajaratul Unsi (Pohon Penghibur)

Pohon ini menjadi penghiburmu di saat kamu sendirian dan kelembabannya meringankan (membasahi) keringnya kesalahanmu. Pohon ini ditanam oleh Nabi saw. Saat beliau melalui dua kuburan yang sedang diadzab. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Nabi saw. Beliau mengambil sebatang pelepah kurma yang masih basah. Dan membelahnya menjadi dua bagian lalu menancapkan kepada masing-masing dari kedua kuburan itu satu bagian. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau lakukan itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Mudah-mudahan adzab diringankan dari keduanya selama kedua pelepah ini belum mengering.”

Buraidah Al Aslami r.a. memahami hal itu sebagai tuntutan yang dianjurkan. Oleh karena itu ia berwasiat agar ditancapkan di atas kuburannya nanti dua batang pelepah kurma. Orang-orang pun mengikuti jejaknya dalam hal ini.

Ada kalanya kita tidak dapat terlepas dari dosa-dosa kecil yang mencemari keikhlasan amal kita atau dari keterpaksaan mengejar sisa-sisa yang ada di tangan ahli dunia dari harta yang memperdayakannya. Yang biasa dibarengi dengan begadang yang merusak kesehatan dan dirundung oleh kegelisahan yang membuat diri kita tidak dapat tidur. Sehingga tubuh ini menjadi lemah untuk persiapan kerja di pagi hari. Barangkali dengan meluangkan waktu sejenak untuk berteduh di bawah pohon ini agar dapat meringankan beban hidupmu.

Tentu hiburan bagi seorang muslim sejati bukanlah dengan lantunan nasyid-nasyid dengan iringan bunyi musiknya atau juga bukan dengan tontonan yang melalaikannya. Akan tetapi hiburannya melalui dengan mengenang sejarah kehidupan umat terdahulu yang diabadikan kebaikannya serta mengingat akan janji balasan yang akan diberikan Allah swt. pada orang-orang yang beriman. Sehingga dapat menggambarkan kenangan indah di hatinya akan kehidupan orang-orang yang telah berada di negeri cahaya yang penuh berkah.

6. Syajaratul Mufashalah (Pohon Pemisahan)

Pohon pemisahan ini menjadi saksi tentang sempurnanya akan kebersihan sarana yang digunakan oleh seorang muslim dalam mencapai tujuannya yang bersih. Demikian itu terjadi ketika ada seorang musyrik yang ingin bergabung memberikan bala bantuan kepada pasukan kaum muslimin dalam perjalanannya menuju medan Perang Badar. Orang musyrik itu memberikan bala bantuan atas dasar fanatisme golongan untuk membela kaumnya. Ketika pasukan kaum muslimin sampai di sebuah pohon besar yang menjadi rambu jalan sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah r.a.. Lalu orang musyrik itu hendak bergabung. Maka Nabi menoleh kepadanya dan mengatakan, “Kembalilah kamu, aku tidak meminta bantuan dari orang musyrik.”

Maka ketetapan ini terus berlaku sebagai prinsip yang tidak pernah ada pengecualiannya. Kecuali hanya dalam kejadian-kejadian yang terbatas dan langka. Oleh karena itu prinsip ini tetap menjadi pijakan dalam amal dakwah kita agar tidak mengemis meminta-minta balas bantuan dari orang yang memusuhi dakwah. Apalagi potensi yang dimiliki umat masih melimpah ruah untuk didayagunakan.

7. Syajaratul Istighfar (Pohon Meminta Ampunan)

Pohon istighfar berupa pohon anggur yang banyak buahnya. Apabila ada seorang tamu yang mampir ke rumah pemiliknya, maka ia akan memetik setangkai buah itu lalu disodorkan kepadanya untuk mencicipinya. Setelah itu tentu sesorang yang bertandang itu akan merasakan kepuasan yang teramat sangat. Kemudian pada hari yang lain. Isteri pemilik kebun anggur itu mengatakan kepada suaminya, “Cara seperti itu tidak etis kepada tamu, sebaiknya engkau ikut memakan separuh jamuanmu guna menyenangkan hatinya dan sekaligus sebagai penghormatan padanya.”

Suaminnya menjawab, “Besok aku akan lakukan hal itu.” Keesokan harinya, setelah tamunya memakan separuh hidangan yang disajikan kepadanya, lalu lelaki pemilik kebun itu ikut serta memakannya. Tatkala ia mencicipinya terasa anggur itu masam dan tidak enak untuk dimakannya, ia pun meludahkannya dan mengernyitkan kedua alisnya keheranan atas kesabaran tamunya yang mau merasakan buah seperti itu. Namun tamu itupun menjawabnya, “Sesungguhnya aku telah memakan buah ini dari tanganmu sebelumnya selama beberapa hari dengan rasa manis, tetapi sekarang ini aku tidak suka memperlihatkan kepadamu rasa tidak enak pada buah ini sehingga membuatmu menyesali pemberianmu yang lalu.”

Apa yang disebutkan di atas ini bukanlah kisah ngawur melainkan sebagai tamsil perumpamaan yyang dibuat untuk para muslimin yang ingin Islam jaya di muka bumi ini. Karena itu dengarkanlah baik-baik. Hal ini merupakan ungkapan kisah yang dijabarkan kepadamu untuk mendekatkan kepahamanmu kepadanya agar mudah kamu cerna.

Tidak seorangpun di antara orang-orang yang ada disekitarmu yang terpelihara dari kesalahan dan benar selalu adanya. Oleh karena itu jika ada saudaramu yang berbuat kekeliruan, maka janganlah kekeliruannya itu mendorongmu untuk mendiamkannya tidak mau bergaul lagi dengannya. Tidak sabar terhadapnya atau mendiskreditkannya. Bahkan jangan pula kamu mencelanya, melainkan bersabarlah kepadanya.

Dan tahanlah emosimu. Dan kamu harus memaafkannya dalam hatimu karena mengingat kebaikannya yang terdahulu dan perilakunya yang baik dan penghormatannya kepadamu. Karena barangkali dia dapat membantumu untuk bertaubat atau menolongmu saat kamu belajar sebagai pelayan pendamping atau teman begadangmu atau dia mengajarkan kepadamu suatu bidang pengetahuan yang diajarkan Allah kepadanya dan hal-hal baru yang belum kamu ketahui.

8. Syajaratuz Zuhud (Pohon Zuhud)

Jika engkau telah beroleh faedah dan menebarkan keadilan, maka sudah saatnya bagimu untuk membaringkan diri di bawah sebuah pohon yang ramping lagi banyak buahnya dan bunganya. Keindahannya memukau pandangan orang yang melihatnya dan membuat orang yang menikmati keindahannya berdecak kagum karena selera penanamnya begitu tinggi.

Itulah pohon zuhud. Yaitu pohon yang bersemi di dalam hati. Jenisnya lain dari yang lain. Belum pernah ada seorang pun yang menanam hal yang semisal itu sehingga terlihat sangat indah. Penanamannya menggambarkan pohon itu bagai syair berikut:

Zuhud telah menanamkan pohon dalam kalbuku

Sesudah membersihkannya dari bebatuan dengan susah payah

Dia menyiraminya sesudah menancapkannya ke bumi dengan air mata yang dialirkan

Manakala di melihat burung-burung perusak tanaman terbang mengelilingi pagarnya

Dia mengusirnya

Aku tidur di bawah naungan yang rindang dengan hati yang senang

Dan mengusir semua yang mengganggunya

Kemudian aku berjanji setia kepada Tuhanku

Seperti itulah Bai’atur Ridwan dilakukan di bawah pohon untuk memberikan janji setia. Rasakanlah kamu menjadi salah seorang di antara mereka yang melakukan hal itu. Dan kamu bersama di tengah-tengah mereka. Dirimu dipenuhi oleh semangat bai’at janji setia sampai mati di jalan Allah swt. demi membela ajaran ini tegak di muka bumi.

9. Syajaratul Hilm (Pohon Penyantun)

Seharusnya setiap mukmin telah memahami seni menanam pohon keimanan dan telah menanamkan pohon Kesantunan dalam dirinya. Jadilah diri Anda seperti pohon yang berbuah. Manusia melemparinya dengan batu sedang Anda melempari mereka dengan buahnya.

Sesungguhnya itu gambaran yang baik. Karena sesungguhnya kebanyakan manusia cepat cenderung kepada kejahilan sehingga mendorong mereka untuk mendustakan para penyeru kebaikan dan menyakiti mereka dengan cara batil. Seandainya seorang dai bersikap jahil seperti orang jahil itu dan membalas keburukan dengan keburukan semisal, niscaya akan lenyap dan pudarlah nilai-nilai kebajikan itu. Sebenarnya sikap yang harus diambil seorang dai adalah berlapang dada, mengharapkan pahala Allah dan memohon ampunan bagi kaum yang tidak mengerti itu.

Syaikh Muhammad Ahmad Ar Rasyid menandaskan bahwa pohon keimanan itu mesti diberi pupuk dan disiraminya di setiap waktu. Dirawatnya dengan baik agar tidak dimakan hewan yang mendatanginya atau dihinggapi hama penyakit. Ia pun perlu diselamatkan dari tangan jahil manusia yang sering usil untuk memetik buahnya sebelum masanya. Ia perlu penjaganan yang ekstra agar pohon-pohon itu memberikan buahnya bagi dakwah ini. Itulah Tsamaratud Da’wah (Buah Dakwah). Yakni kader-kader dakwah yang militan yang menyediakan dirinya untuk melayani dakwah ini dan berkhidmat terus demi tegaknya ajaran ini.

Bila pertumbuhan kader ini terus tumbuh dari berbagai segmen dan usia secara seimbang, maka dakwah ini akan mengalami tingkat produktivitas yang amat tinggi. Intajiyatud Da’wah (Produktivitas Dakwah). Dengan begitu mewujudkan misi utama dakwah ini untuk mencapai perubahan nilai dan norma akan semakin terealisasikan. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya’: 107). “Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Anfal: 39)